"Apakah mereka sudah merespon?"
Jaehyun bertanya dengan suara yang diliputi ketidaksabaran. Jika diteliti dengan saksama, siapa pun bisa melihat lingkaran hitam yang membayang di bawah matanya dan juga ekspresi masam yang tak kunjung hilang. Sudah dua minggu sejak perang dengan Dragonaire terjadi dan ketika dirasa sudah aman, mereka harus segera pindah ke salah satu tempat persembunyian Red Phoenix, sebuah rumah di pedesaan eksklusif yang cukup besar untuk menampung mereka.
Sudah 14 hari pula para klien meneror mereka mengenai barang yang tertunda untuk diselundupkan ke luar Eropa dan diimpor ke Korea. Sebagian dari mereka sudah memberikan tenggat waktu — mereka yang sudah menandatangani perjanjian kerja dengan Red Phoenix untuk penyelundupan narkoba dan barang elektronik. Hal-hal tersebut sangat melelahkan bagi anggota yang tersisa. Mereka nyaris tidak punya energi untuk mendistribusikan barang-barang tersebut bila bekerja sendirian.
Tanpa Markas Besar permanen dan sumber daya manusia yang cukup, mereka tidak mungkin bisa bertahan lebih dari setahun. Ini masalah uang — ratusan, ribuan, jutaan yang telah diinvestasikan di Red Phoenix oleh pengusaha dan juga figur penting. Apabila mereka gagal mengirimkan barang sesuai kontrak, sama saja mereka harus kabur kalau mau selamat.
Doyoung membuang napas, menaikkan posisi kacamatanya. Cahaya dari laptop terpantul di wajahnya seraya ia mengetik surel entah yang keberapa untuk para klien, menuliskan janji palsu yang dibalut kata-kata manis; bahwa mereka butuh beberapa minggu untuk menyiapkan pesanan. "Ada respon, tapi mereka tidak suka dengan penundaan ini. Permintaan di pasar gelap sedang meningkat dan mereka butuh suplai, Jaehyun. Garnet tidak membalas pesan kita. Yang mana menjengkelkan," kata intel berkartu Gold itu, akhirnya selesai mengirimkan surel terakhir dan menutup laptopnya untuk menghadap Jaehyun. "Karena mereka butuh feedback dan pesanan dari kita. Kita tidak bisa mempertahankan saham tanpa berkontribusi apa-apa."
"Apa ada yang tahu rekening bank utama yang dipakai Red Phoenix? Kita bisa mencari pemasok lainnya untuk narkoba, setidaknya — lebih baik dari Eropa juga. Kita bisa membayar di muka untuk mengamankan posisi." Jaehyun mulai berjalan mondar-mandir gelisah. "Kau sudah coba menghubungi mitra lainnya?"
"Klien kita akan tahu kalau produknya milik Garnet. Mereka tidak mau barang yang berkualitas lebih rendah. Merk Garnet nilainya kecil untuk beberapa gram heroin."
Hanya ada mereka berdua di ruang tamu. Johnny dan Ten kemungkinan sedang melakukan sesuatu di kamarnya sedangkan Yuta tidur dan Sicheng menyibukkan dirinya dengan game.
Jaehyun bahkan tidak ingin tahu apa yang sedang dilakukan seseorang berambut merah. Lee Taeyong belum melakukan apa-apa setelah mengangkat dirinya sebagai bos dari anggota Red Phoenix yang tersisa. Selama dua minggu terakhir, ia tidak tampak melakukan tugasnya dengan serius, tidak berkomunikasi dengan para klien. Hanya Jaehyun dan Doyoung yang rela lembur untuk meredakan amarah pelanggan.
Harusnya ia sudah sadar kalau kata-kata yang keluar dari mulut Lee Taeyong hanya omong kosong sinting.
Pikiran itu membuatnya marah. Dengan tangan terkepal di sisi tubuh, Jaehyun merasakan godaan yang meningkat untuk naik ke atas dan menghujamkan peluru di dada Taeyong. Lebih sedikit orang gila, lebih sedikit masalah.
"Ternyata rekening bank juga sudah dibekukan. Mungkin ada masalah tak terlihat, sepertinya tidak terlalu berbahaya. Meski kita mencoba memperbaikinya, mereka tidak akan mau mendengarkan kita. Ini sangat berisiko; hanya Lee Namgyu yang bisa mengendalikan semuanya." Doyoung bangkit dari duduknya sambil menggelengkan kepala, menuju ke dapur dalam diam. Air dingin mengaliri kerongkongannya saat ia minum, melepas rasa haus membara yang ia tahan sejak tadi. "Kita bisa saja memalsukan otorisasinya, tapi bank hanya mengakui Moon Taeil sebagai wali Lee Namgyu. Sedangkan dia menghilang. Mungkin sudah mati."
Jaehyun memicingkan matanya, "Mungkin?"
"Well," Doyoung menaikkan bahunya, mengisi ulang botol minumnya. "Dragonaire menculik beberapa anggota penting kita sebagai sandera tapi kita tidak melihat Taeil di gudang itu. Sebelum van pergi menjauh, kita melihat mereka membakar Markas Besar — sebagian besarnya. Aku rasa seorang asisten tidak mungkin bisa kabur. Dia memang pintar, tapi refleksnya sangat buruk. Tidak mungkin Moon Taeil masih hidup. Kasihan. Dia orang yang paling dipercaya di Red Phoenix. Dia sangat berguna di masa seperti ini, dia seperti brankas informasi Lee Namgyu."
Moon Taeil sudah mati. Meski Jaehyun tidak suka dengan sikap kakunya, ia harus akui kalau ia berterima kasih karena sudah sering dibangunkan olehnya. Kalau bukan karenanya, pasti ia akan sering ketinggalan rapat.
"Sayang sekali."
"Lee Taeyong, kembalikan itu padaku!"
Teriakan yang datang dari lantai atas itu mengejutkan mereka berdua yang ada di lantai satu. Derap kaki yang cepat mengadu lantai terdengar keras sebelum Jaehyun melihat Taeyong menuruni tangga dengan santai, satu tangan diletakkan di belakang tubuhnya sedangkan tangan lainnya memutar batang lolipop di mulutnya. Si rambut merah menjatuhkan dirinya untuk duduk di samping Jaehyun dengan tatapan kosong.
Jaehyun membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu namun kedatangan Ten yang berlari dan berteriak ke arah Taeyong membuatnya mengurungkan niat.
Ten marah, tangan kecilnya bergetar hebat.
"Dasar berengsek! Kembalikan!" Pria berdarah Thailand itu menghentakkan kakinya di hadapan Taeyong, tangannya terjulur tanda menanti barang apa pun yang ia sembunyikan tadi. Jaehyun dan Doyoung menonton mereka dengan bingung, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Sayang, jangan buat keributan..."
Di anak tangga terakhir berdirilah Johnny dengan wajah memerah. Warna merah itu menyelimuti kulitnya, menjalar dari kerah pakaiannya. Jaehyun bisa menduga apa yang mereka lakukan sebelum kekacauan ini terjadi.
Ulah apa yang Lee Taeyong perbuat sampai mereka berhenti bermain?
Ten mengabaikan bujukan Johnny. Dan... Sayang? Alis Jaehyun terangkat naik, mulai tertarik. Pasangan itu nampaknya — akhirnya — sudah resmi sekarang.
"Kalau kau tidak mau mengembalikannya aku akan membuang semua rokokmu!"
"Betul." Doyoung mendekat, berdiri di belakang sofa dengan tangan terlipat di depan dada. "Padahal dia bisa hidup tanpa rokok karena dia sudah menemukan sesuatu yang lebih nikmat." Jaehyun merasakan tatapan yang datang dari arah Doyoung, namun ia berusaha menghindarinya. "Menurutku hal ini tidak pantas diributkan."
Nada cuek itu memicu amarah Ten hingga ia memelototi Doyoung, laki-laki yang duduk di sebelah Jaehyun mengangkat tangannya, menunjukkan apa yang ia sembunyikan sedari tadi, yang merupakan milik Ten jika dilihat dari reaksinya yang menggebu-gebu.
Suasana menjadi hening ketika mereka melihat penampakan sebuah butt plug transparan.
"Apa itu... seperti yang aku pikirkan?" tanya Doyoung, ragu akan objek apa yang ia lihat. Ten dengan cepat merebut barang itu dari Taeyong dan berlari ke atas dengan Johnny menyusulnya. Suara gelegar pintu yang ditutup membuat Jaehyun melompat di kursinya.
Perhatian mereka kembali pada si rambut merah yang masih diam saja di sofa, sedang mengunyah batang lolipop. Nampaknya permennya sudah habis.
"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Jaehyun heran.
Taeyong menatapnya, wajah tak bisa dibaca seperti biasa. Ia memutar batang permen itu di mulutnya selama beberapa detik lalu membuangnya ke sembarang arah dan berdecak. "Aku bosan. Aku mendengar suara aneh dari kamar seberang. Apa kau mau tahu apa yang aku lihat di sana?"
Senyum jahat menghiasi wajah Taeyong — meski lebar, namun tidak mencapai matanya. Jaehyun bergetar takut.
"Aku rasa aku tidak mau ta—"
Bergumam sesuatu tentang mengantuk, Doyoung meninggalkan ruangan dengan napas berat. Akhirnya, hanya ada Jaehyun dan Taeyong di ruang tengah temaram itu, hanya ada cahaya dari TV yang dibisukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...