Part 38

991 148 8
                                    

Mata Taeyong, bergetar dan melebar tak percaya, menatap Jaehyun beberapa detik sebelum terjatuh berlutut di lantai. Jaehyun dengan cepat menangkapnya dan wanita itu meraung di dalam dekapan Ten. Mereka tidak bisa mengambil risiko; Taeyong masih memegangi pisau yang tertancap di tubuhnya.

"Taeyong," Jaehyun memangku kepalanya. Yang lain masih diam di tempatnya dengan wajah ketakutan. Winwin berjalan keluar, diikuti Yuta. Johnny diam terpaku di tengah ruang tamu. "Taeyong, hentikan semua ini. Kau harus berhenti..." suaranya parau. Jaehyun menangkup pipinya, menodainya dengan tangannya yang berdarah. "Semua ini sangat melelahkan..."

Si rambut karamel hanya menatapnya ketika badannya mulai berkedut-kedut tak terkendali. Tubuhnya serasa terbakar, apalagi di sisi tubuhnya. Tiba-tiba ia tidak bisa mendengar apapun, hanya suara denging di telinganya. Sepertinya semuanya sudah tepat. Ia akan segera mencapai akhir dari permainannya sendiri.

"H-hei, Jaehyun,"

"Ya?"

"Kenapa kau terus saja membunuhku?" Taeyong tergagap, bagaikan bendungan yang akan meledak. "Kenapa kau terus menyakitiku, Jaehyun? Apa salahku padamu?"

Jaehyun tidak punya jawabannya.

Hal itu membuat pria yang sedang terluka itu semakin sebal. "Kenapa kau ingin sekali membunuhku?!" Desisan mengikuti amarahnya, dan darah semakin banyak menetesi lantai.

Adegan itu membuat hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak pernah berharap akan menjadi orang yang membunuh Taeyong, tidak lagi. Jaehyun menahan segalanya, mencegah dirinya menjadi lemah. Hanya orang lemah yang kalah, ayahnya pernah berkata. Ia tidak menangis ketika ibunya meninggal, ia tidak menangis ketika pergelangan kakinya terkilir saat berlatih mengendarai sepeda, ia tidak menangis ketika ia kehilangan kesempatan untuk membuktikan dirinya pada ayahnya.

Tapi mengapa ia ingin merobohkan dinding pertahanan dirinya dan menangis untuk Taeyong, agar Taeyong tidak mati, agar Taeyong tidak meninggalkannya, padahal selama ini ia selalu saja mengusirnya pergi?

Kenapa terasa sangat menyakitkan hingga ia sulit bernapas, sulit untuk memalingkan pandangan dari sepasang mata biru yang semakin memudar itu?

Bukankah Taeyong yang seharusnya membunuhnya dan bukan sebaliknya?

"Jaehyun..."

Jaehyun berkedip di sela-sela air matanya. Tetesan itu sudah membasahi wajahnya. "Apa?"

"Kau masih menyukai rambutku meskipun tak lagi panjang?"

Mengejutkan bagaimana ia masih bisa berbicara dengan jelas. Meski di ambang kematian, Lee Taeyong menolak menjadi manusia lemah.

"Tentu saja."

"Bagus. Karena kau tidak akan melihatnya tumbuh lagi." Mata Taeyong mengerjap lalu tertutup, dan napasnya menjadi pelan. Jaehyun memeluknya lebih erat. "Apa kau mau mengatakannya?"

"Mengatakan apa?"

"Kalau kau menyukaiku?"

"Aku menyukaimu." Tegas, tulus, tidak ada sedetikpun yang terbuang.

Tawa pecah di antara geramannya. "Kau sangat bodoh."

Jaehyun mendengar suara sirine yang berdering, saat tangan Taeyong terkulai di sisi tubuhnya.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang