Part 37

826 133 0
                                    

"Minum obatnya, Taeyong. Aku tidak akan meracunimu."

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Dengar," Jaehyun menghela napas, menggosok wajahnya dengan tangan. "Apa aku terlihat seperti akan membunuhmu? Kau yang membuatku pingsan di malam yang dingin—"

"Ah, jadi kita akan saling menyalahkan sekarang."

"Minum saja ini!" Jaehyun menggenggam rahang pria itu dan memaksanya terbuka sebelum memasukkan obat ke dalamnya. Si rambut karamel menggeram sambil menelan bulat-bulat pil tersebut.

"Tidak sulit, 'kan?"

Termometer berbunyi 'bip' dan Ten memeriksanya. "39⁰? Kenapa kau bisa sakit?"

"Di luar sedang turun salju, Kerdil. Ambilkan aku selimut." Nada kasar itu membuat Winwin berlari ke kamarnya untuk mengambil selimut, melemparnya dengan cuek ke arah pelempar pisau.

Mereka semua menatap sang pewaris Red Phoenix dengan banyak sekali pertanyaan di kepala, tapi satu hal yang pasti: mereka ingin tahu kenapa ia dilelang.

Johnny memecah kesunyian. "Well, itu menegangkan. Seperti aku akhirnya melakukan sesuatu yang nyata kali ini. Siapa sangka kita akan menyerang Venandi dan bukan Garnet?" Ia hampir bisa mendengar suara gagak akibat sepinya suasana rumah ini. Johnny hanya perlu menambahkan suara tawa canggung di tengah atmosfer yang sudah canggung ini.

Jaehyun ingin tertawa pada situasi konyol ini. Sangat tidak masuk akal sampai ia tidak bisa membentuk kalimat yang sempurna dan mengucapkan sesuatu pada sang pelempar pisau yang ia kira sudah menghilang setelah pertemuan beberapa hari lalu.

Tapi semuanya berujung pada sebuah kesimpulan. Mereka butuh penjelasan.

"Kenapa kau ada di sana?"

Taeyong menekuk kakinya ke arah dada, butuh kehangatan. Selimut tebal itu tidak bisa menenangkan tubuhnya yang gemetaran. Ia merasa kain itu diangkat darinya dan ia nyaris mengamuk, hingga Ten mulai memotong perbannya untuk diganti dengan yang baru.

"Kalau aku bilang, apa kalian akan percaya?"

"Kalau kau berkata jujur."

Ia merasa semua mata tertuju padanya. Tangan Taeyong bergetar dan ia membawa kepalan tangannya ke mulutnya. "Risa Uehara menjualku pada Venandi."

"Tunggu— Risa?"

"Dia masih hidup. Oh, sebelum aku menggoroknya dengan pisau. Pelacur itu menyebalkan sekali; aku tidak tahu kenapa aku tidak membunuhnya dari dulu. Tapi, ya, tadinya dia masih hidup. Dokter itu, Kim Jaejoong, ada bersamanya. Mereka ingin bergabung dengan Garnet, tapi," Sang pelempar pisau mulai tertawa, badannya bergetar seiring dadanya dipenuhi gelembung tawa hingga ia membungkuk, mencengkeram perutnya dan air mata membasahi matanya. "Jalang itu dilarang masuk! Kenapa?" Taeyong melihat mereka satu per satu. "Seseorang memberitahu Garnet kalau mereka hanyalah penyusup. Kim Jaejoong tidak bersalah, oke. Ia tidak sengaja terlibat di sini. Ia membantu Risa kabur dari Markas Besar waktu Dragonaire menyerang. Tidak ada pilihan, dia mengungkap kebenarannya." Taeyong menatap mata Jaehyun. "Tanya aku."

"Apa kebenarannya?"

"Proposal itu dikirim secara ilegal, Moon Taeil pelakunya. Dia bekerja sama dengan Dragonaire karena mereka menjanjikan jabatan yang lebih tinggi untuknya. Tapi aku ragu mereka akan benar-benar mengabulkannya karena mereka masih punya pewaris meski Kim Jaeseok tidak terlihat seperti second-in-commandnya. Mereka menyasar Red Phoenix karena ingin meningkatkan status lokal mereka dengan menjangkau Garnet. Tapi aku mengacaukannya. Aku membunuh Jaeseok, rencana mereka tersendat dan aku membunuh Taejun. Moon Taeil membawa proposalnya ke Fort dan mengatakan bahwa Red Phoenix tidak mau lagi bekerja sama. Fort agak sedikit bodoh. Dia tidak memeriksanya. Tapi itu bisa dimaklumi; dia mendadak akan dihujani uang dalam jumlah banyak dari proyeknya dengan Casanov. Kalau dia diberitahu bahwa Red Phoenix tidak menginginkannya lagi, kenapa dia bertahan? Tapi sebelum kalian bertanya, akan kuberitahu. Moon Taeil sudah mati. Sama-sama."

Pengungkapan itu membuat mereka semua ternganga. Yuta mengerjap cepat, masih mencerna informasi tersebut. "Moon Taeil. Bagaimana kau bisa menemukannya?"

Taeyong mendecakkan lidahnya. "Kalau kau mau memimpin Invictus, jangan hanya terpaku pada hal yang ada di depanmu saja. Karena biasanya, ada banyak hal tersembunyi di baliknya. Di gala. Kalian sangat fokus pada Fort hingga kalian tidak melihat Taeil di luar aula. Lalu Fort mengumumkan kerja samanya dengan Casanov. Di situlah aku tahu kalau ada orang lain yang mengacaukan Red Phoenix. Aneh, bukan? Kenapa Moon Taeil tiba-tiba muncul bekerja untuk Garnet padahal tidak ada yang mendengar kabarnya selama dua minggu kami bersembunyi di Seoul? Tidak ada dari kalian yang melihatnya di gudang sandera itu? Sungguh, tidak adakah yang memikirkan hal itu? Kalian hanya berasumsi dia sudah mati?"

Doyoung memalingkan wajahnya, Taeyong mendengus.

"Kalian terlalu percaya diri. Dan kalian berpikir aku tidak bisa membantu hanya karena otakku tidak beres."

Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat, hingga Jaehyun berkata. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"

Menggigit ibu jarinya, Taeyong menatapnya. "Aku sudah bilang padamu kalau aku bukan pelakunya. Kau sangat tinggi hati sampai kau tidak berpikir kemungkinan orang lain yang melakukannya. Kau ingin aku mengakui sesuatu yang tidak kulakukan untuk memuaskan egomu dan membenarkan asumsimu. Sekarang kau dengan mudah percaya padaku? Kenapa? Kau kasihan padaku yang ada di dalam kandang? Aku terkejut kalian bahkan membiarkanku bicara sekarang. Walau aku tidak peduli kalau setelah ini kalian menendangku keluar."

Ten selesai membalut lukanya dan memakaikan selimut itu lagi di punggungnya. "Di mana mayat Moon Taeil? Risa Uehara? Kami ingin mengonfirmasinya."

"Uehara ada di dalam gedung; kalian membakarnya. Taeil ada di sebuah garasi usang, aku lupa alamatnya. Aku bisa membawa kalian ke sana kalau kalian mau, tapi aku ragu tubuhnya masih ada di sana. Jika kalian tidak percaya padaku, temui saja Fort. Setidaknya dia bisa mengonfirmasi tipu muslihat Taeil."

Jaehyun menarik selimutnya turun dan melihat memar di sisi leher Taeyong lebih dekat. "Siapa yang melakukannya?"

"Seseorang dari Venandi. Mereka membiusku makanya aku tidak bisa kabur."

Pewaris Invictus mundur dengan berkacak pinggang untuk melihat adegan di depannya. Selama ini, Taeyong tidak bersalah. Ia menggali kebenaran di balik kehancuran Red Phoenix sendirian ketika Jaehyun terpaku pada dirinya sendiri, mimpi egoisnya. Kalau saja ia tidak mengucilkannya sedari awal, mungkin saja kekacauan ini tidak akan terjadi. Kalau saja ia tidak membenci Taeyong hingga di tingkat ingin membunuhnya.

"Sekarang apa?" Mata biru memandanginya.

"Aku tidak tahu. Kau butuh... kau butuh bantuan, Taeyong."

Taeyong menatapnya, tidak berkedip. "Apa maksudmu?"

Jaehyun menarik napas dalam-dalam, perlahan membuangnya. "Kau harus masuk rumah sakit jiwa—"

"Tidak mau!" Taeyong melompat dari duduknya ke arah Jaehyun, menekan yang lebih muda di dinding. Jaehyun menyuruh yang lainnya untuk mundur. "Kau tidak boleh mengurungku di sana!"

"Kau tidak stabil, Taeyong! Tidak ada yang akan terus mengawasimu agar kau tidak membunuh! Kau membunuh orang-orang itu di klub! Dan untuk apa? Hanya karena kau ingin! Kau tidak bisa terus membunuh orang tanpa alasan!"

Taeyong menggeram, menekan lengannya lebih keras di leher Jaehyun. "Apa aku butuh alasan?! Kau terus saja mengganggu hidupku!"

"Taeyong?"

Semua kepala menoleh ke arah sumber suara itu. Léonie berdiri di kejauhan, matanya melebar dan basah. Ia tampak seperti akan pingsan, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tangan menekan dadanya sendiri.

"Aku terbangun, kalian sangat berisik. Aku mendengar suara pertengkaran— Taeyong? Apa kau datang ke sini untukku?" Matanya terpusat pada Jaehyun seraya air matanya menetes. "Kau menemukannya untukku?"

Taeyong hanya melihatnya dengan rasa tidak percaya yang terpancar di mata birunya. Ia kemudian melihat Jaehyun sebelum melihat ibunya lagi. "Kau bersama Invictus?"

"Y-ya, ta—"

"Kau dengan Invictus selama ini? Sedangkan mereka di luar sana berusaha membunuhku, menuduhku macam-macam? Kau selama ini ada di sini, Léonie?! Ibu macam apa kau!"

Lengan sang pelempar pisau meninggalkan Jaehyun seraya ia menarik sebilah pisau dari ikatan di kakinya. Mata Jaehyun membesar, melihat apa yang akan Taeyong lakukan dan dengan cepat menarik lengannya ketika ia hendak melemparkan senjata itu ke arah Léonie, merebut pisaunya dan menusuk sisi tubuh si rambut karamel.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang