Part 13

959 159 3
                                    

Mereka dipanggil untuk rapat di tengah malam. Jaehyun mengumpulkan seluruh anggota tim dan mengarahkan mereka ke ruang konferensi yang sudah dihuni ayahnya. Mereka duduk di kursi masing-masing sebelum Jaehyun mengambil tempat di sebelah Kingpin.

"Penerbangan kalian berangkat besok lusa. Itu jadwal tercepat yang tersedia untuk pilot kami. Petugas berwajib di bandara Prancis sudah diberitahu tentang kedatangan kalian jadi tidak usah khawatir tentang legalitasnya. Mereka diberitahu bahwa kalian berkunjung ke sana untuk urusan bisnis dengan Garnet. Mereka tidak bertanya lebih jauh, karena Garnet mengadakan gala atau pesta besar rahasia. Kuserahkan pada kalian tentang siasat pengaturan janji bertemunya."

Jaehyun mengangguk mantap. "Dan senjatanya?"

"Akan diangkut ke pesawat."

Johnny menginterupsi dengan sopan. "Rumah persembunyian di sana lengkap, Jaehyun. Jangan khawatir tentang kebutuhan kita."

"Oke. Tapi gala apa itu? Ada dress code?"

Seluruh tim melihat Doyoung yang memutar mata sambil memperbaiki letak kacamatanya. "Garnet mengadakan gala tahunan untuk membahas prestasi terbaru mereka. Gala ini juga cara mereka menjaring klien baru. Acaranya akan diadakan dalam minggu ini, jadi kita bisa memanfaatkannya untuk bertemu bosnya. Kita butuh kartu undangan, jadi kita harus mendaftarkan diri secepatnya. Tidak mudah masuk ke galanya. Dan ya, ada dress code untuk menghindari kecurigaan. Jas untuk pria dan gaun untuk wanita, seperti pesta topeng."

Kingpin mengetuk meja, terlihat puas. "Bagus. Catat ukuran tubuh kalian, jas akan dikirim besok beserta topengnya. Dan sebelum aku lupa, meskipun kau aman di bandara, kalian tetap memerlukan paspor untuk kepentingan identitas, siapa tahu kalian berulah di sana. Kami akan segera mengirimkan semuanya."

"Terima kasih, Ayah."

"Sudahlah. Sebagai imbalannya aku ingin kalian berhasil mencapai kesepakatan. Jangan kembali kalau kalian belum punya sesuatu untuk dibanggakan. Kau memaksa untuk hidup seperti ini, Jaehyun. Tunjukkan padaku kenapa aku harus merestuimu hidup sebagai mafia."

Tangannya terkepal di balik punggung. "Baik, Ayah."

Pria tua itu hendak pergi, namun Jaehyun menghentikannya ketika sebuah ide terlintas di benaknya.

"Apa kami boleh mengajak Léonie?"

"Untuk apa?"

Jaehyun mengatur ekspresinya, mencegah siapa pun di sana membaca kebohongannya. "Kita butuh penerjemah. Tidak ada yang bisa berbahasa Prancis di antara kami. Dia pasti berguna."

Jaehyun pun terkejut dengan bakat barunya, berbohong tepat di depan mata ayahnya dengan mudah. Mereka sebenarnya tidak membutuhkan Léonie. Ia hanya tidak mau wanita itu jauh dari pengawasannya karena Lee Taeyong masih berkeliaran dan ada kemungkinan mereka bertemu.

"Terserah, lakukan semaumu."

Ten melompat dari kursinya setelah Jung Heejun keluar. "Apa kau yakin? Aku tahu mereka bisa bahasa Inggris, Jaehyun."

"Aku tahu itu. Kita tidak akan mengajaknya ke gala. Aku hanya berjaga-jaga kalau Taeyong mencarinya dalam waktu dekat. Terutama ketika kita sedang jauh."

"Memang apa bahayanya kalau mereka bertemu?" Winwin bertanya, seolah saran Jaehyun tidak masuk akal.

"Maka Lee Taeyong akan menemukan kita, Winwin. Situasi itu sangat berbahaya, berlawanan dengan tujuan kita untuk lepas dari pembunuh itu."

"Jaehyun benar." Yuta setuju. "Jangan bertingkah seolah kita menyukainya."

Pria Jepang itu menoleh ke arah Doyoung yang mendengus keras. "Apa?"

"Kau yang paling anti dengan Lee Taeyong; jangan kira kami lupa."

Wajah Yuta berubah kesal. "Kau masih berpikiran begitu? Konyol."

"Kenapa?" Peretas berkartu Gold itu mendesaknya. "Apa ada alasannya kita harus berhenti berpikiran seperti itu?"

Kursi putar meluncur di lantai dan menabrak dinding seraya Winwin berdiri dengan kasar, menggumamkan sesuatu tentang ingin buang air kecil sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Jaehyun mengedipkan matanya beberapa kali. "Uh, oke... sepertinya Winwin tak tahan lagi. Ayo, pergi. Kita tidak perlu bangun pagi besok. Jadi... selamat tidur?" Jaehyun menggaruk kepalanya dan cepat-cepat pergi. Toh mereka sudah mulai hafal bangunan ini.

***

Taeyong menepikan mobilnya, mematikan mesinnya. Ia keluar dari mobil curian itu dan berjalan dengan tenang di jalan setapak yang bersalju menuju pondok, dengan lesu melawan rasa dingin yang menusuk lewat sepatunya. Pintu itu berderit terbuka usai ditendang dan tangannya mencari sakelar di dinding, matanya sedikit memicing karena lampu yang menyala terang di atasnya.

Semua masih pada tempatnya seperti saat terakhir mereka berada di sana. Mengejutkan pondok ini tidak dirampok, tapi meskipun terjadi, Taeyong tidak akan peduli. Tidak ada apa pun yang sentimental di pondok ini, kecuali piringan hitam yang masih terpasang di pemutarnya. Ia mendekati benda itu, menyalakannya sebelum menaruh jarum di tepinya. Suara khas Michael Jackson mengisi rumah itu seraya ia berputar-putar di ruangan yang sempit. Setelah ia bosan menunda tujuan utamanya, Taeyong memasuki kamar tidur dan mengobrak-abrik lemarinya. Ia menemukan apa yang ia cari di bawah tumpukan baju, mengambil dan menyelipkan kartu kredit serta paspornya di kantong jaket kulit hitam yang ia pakai.

Kulkas di dapur masih terisi lengkap, mengingat mereka dulu tidak banyak makan selain makanan instan seperti pancake, mi dan sereal. Mengabaikan sayur dan buah, ia mengambil sekantong permen dan memilih beberapa lolipop, terutama rasa anggur dan stroberi. Ia langsung memasukkannya ke mulut dan lidahnya berputar-putar di permen itu, menjilati rasa manisnya.

Pintu menuju ruang bawah tanah diangkatnya dan menimbulkan bunyi derak keras, dan si pelempar pisau turun dengan meloncati beberapa anak tangga. Taeyong menjalankan tangannya di rambut merah nan lembutnya sembari memindai pisau-pisau yang terpajang di dinding. Sayangnya ia tidak bisa membawa senjata tajam itu ke tempat tujuannya, jadi ia menahan kedutan di tangannya dan memasukkannya ke kantong, menekan pahanya kuat-kuat.

Lagu senantiasa bersenandung ketika ia mengitari ruangan kecil itu. Nadanya terdengar samar-samar, membuat Taeyong bisa menikmati kesunyian yang tanpa sadar ia dambakan. Sejak kedatangan Jung Jaehyun, ia tak pernah merasakannya lagi. Pria yang lebih muda itu suka sekali mengusik kehidupan pribadinya.

Kalau saja hari itu ia tidak pergi ke gym...

"Tapi hidup memang kejam, terutama kalau kau tidak bisa menempatkan diri."

Taeyong menarik sebilah pisau dari dinding dan melihatnya berkilau di bawah sinar yang menerobos dari lantai atas. Ia menginspeksi ketajamannya dengan menggores kulit ibu jarinya, menyaksikan darah menetes di pergelangan tangannya sebelum menjilati jejaknya.

"Aku sudah banyak mencicipi darah selama tujuh tahunku di Red Phoenix. Tapi darahmulah yang ingin sekali kujilati dari pisauku, Jaehyun. Aku ingin tahu bagaimana rasanya di tanganku."

Pisau itu kembali ke tempatnya lalu Taeyong naik ke atas, memperbaiki letak papan lantai penutupnya dan mematikan mesin pemutar piringan hitam dengan kasar, musiknya berhenti mendadak ketika piringan itu pecah menjadi dua seiring pintu depan tertutup.

Taeyong tidak mengenakan sabuk pengaman saat ia melajukan mobil dengan cuek dan mengebut, berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

"Kenapa kau selalu kabur dariku, Jaehyun? Aku jadi semakin ingin mengikutimu kalau kau terus begitu, Keparat."

"Apa kau mengujiku?" Si rambut merah memukul setir, membunyikan klakson pada hewan liar yang hendak menyeberangi jalan. "Baiklah. Lakukan saja. Aku akan menjadi bayanganmu selamanya."

Pikirannya itu menggelitik selera humor gelapnya, menggaungi seisi mobil dengan suara tawa gilanya, terbakar obsesi untuk menghancurkan dan memilikinya.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang