Part 23

853 137 2
                                    

Ia hanya bisa melaksanakan rencananya di malam hari untuk menghindari kecurigaan. Ia sudah dianggap cukup mencurigakan bahkan saat bertingkah senormal yang ia mampu.

Taeyong menepuk-nepuk sebungkus rokok sebelum mengambil sebatang. Ia memasukkan bungkusnya kembali ke dalam kantong jaket kulitnya setelah menyalakannya, dengan segera menghirup udara penuh zat kanker itu.

Dari posisinya di balik dinding bata sebuah kompleks apartemen kumal, Taeyong meneliti seluruh pintu masuk yang terlihat di Markas Besar Garnet. Gedungnya setinggi Red Phoenix dahulu, berdiri kokoh di sana berukuran sekitar beberapa ribu meter persegi. Jika sebuah markas besar milik mafia sama mencoloknya dengan milik Garnet di kota seperti Paris, meski di area pinggirannya, sudah pasti mereka menyuap sejumlah besar uang untuk menutup mulut pemerintah lokal.

Mata biru yang tajam terpusat pada pekerja Garnet yang keluar dan masuk mengenakan pakaian kantoran. Secara mengejutkan, mereka memiliki anggota wanita — sesuatu yang hanyalah angan-angan di Red Phoenix, khususnya bagi seseorang yang membenci Taeyong karena mendapatkan seluruh perhatian dari wanita yang ada.

Taeyong menyisir rambutnya sebelum menyelipkan tangannya ke dalam kantong, tangan satunya menjepit rokok di antara telunjuk dan jari tengah. Salju sangat langka di Paris namun nyatanya turun malam ini. Taeyong tidak menduga akan turun salju, maka ia tidak memakai mantel panjang yang baru ia beli. Cuaca sedingin es menyusup melewati tebal jaket kulitnya dan juga celananya, mulai merasuk ke dalam daging dan tulangnya.

Ia ingin mencoba merasakannya. Ingin tahu bagaimana rasa dingin membuatnya gemetaran.

Papan tanda berhiaskan LED di atas kepalanya berkedip beberapa kali. Taeyong tetap di posisinya, bergeming walau dingin yang membeku serta kegelapan membayanginya.

Pupilnya melebar ketika ia melihat sosok yang dinantinya sejak tadi, keluar dari salah satu mobil pengiriman barang. Moon Taeil keluar dari kursi pengemudi sambil membawa sebuah clipboard, menulis seraya anggota lainnya mengeluarkan kardus-kardus berisi pesanan, mengangkutnya masuk melalui salah satu gerbang Markas Besar.

Ia tidak bisa mendengar apa pun dari tempatnya sekarang. Ia bahkan tidak bisa melihat terlalu jelas, namun matanya fokus ke arah Moon Taeil dan hanya Moon Taeil. Taeyong tidak punya niat untuk menyelinap ke dalam gedung Garnet. Ia hanya ingin tahu misteri di balik Moon Taeil yang selamat dari Dragonaire.

Mantan asisten itu tidak mungkin kabur dari Markas Besar pada hari itu. Periode itu adalah waktu yang kritis di mana Taeyong sedang diburu oleh para musuh — Lee Namgyu pasti sangat membutuhkannya, terutama ketika Dragonaire juga sedang menyerang Garnet di saat yang bersamaan.

"Aku tidak bisa menangkapmu sekarang, kau tahu?" Taeyong bergumam, menjentikkan abu di dinding, mengendus dan menggosok hidungnya dengan sebuah buku jari. "Kau punya ini," Tangannya melambai sambil tergelak. "Punya orang-orang berbahaya di sekitarmu. Seandainya mereka lemah seperti Dragonaire aku bisa membantainya sendirian. Tunggu aku." Ia mendorong dirinya di dinding dan berjalan secepat mungkin tanpa tujuan.

Ini baru pukul 11 malam. Ia tidak butuh tidur. Ia tidak butuh berdebat dengan dirinya sendiri tentang apa yang harus dilakukannya pada Invictus. Mereka sudah tamat. Jung Jaehyun sudah mencicipi rasa kekalahan terlalu dini, menurut Taeyong. Dan kini ia hanya perlu mengobservasi Moon Taeil dan mengatur siasat kapan serta ke mana ia harus membawanya untuk sebuah interogasi kreatif.

Ia sudah berjalan begitu lama, berusaha menyimpan ini dalam memorinya kalau-kalau ia harus kembali ke tempat di mana ia tidak diterima. Prancis adalah negara asalnya, namun kenangan akan tempat ini tidaklah cukup baginya untuk bisa menganggap negara ini sebagai rumahnya. Taeyong tahu ia tidak cocok di mana pun. Orang-orang sepertinya hanya cocok berada di dalam kamar putih yang membosankan di sebuah rumah sakit jiwa di mana ia harus dikurung setiap detiknya. Di sanalah seharusnya ia berada.

Tapi itu tidaklah seru. Di sana ia tidak akan bisa membunuh jika sudah dipakaikan straitjacket*. Ia bahkan tidak bisa menyiksa orang. Mereka akan memotong kukunya dan mengikatnya di ranjang serta membungkam mulutnya. Satu-satunya waktu dia bisa menciptakan rasa sakit adalah ketika ia mulai merasakan kesunyian itu dan membenturkan kepalanya di dinding satu, dua, tiga, ratusan kali sampai tengkoraknya hancur dan darahnya berceceran di lantai. Ia akan mati saat itu. Membosankan. Terlalu mudah.

Ia tidak cocok di mana pun. Dan untuk saat ini, ketika ia tidak bisa menghampiri Taeil, ia harus mencari sesuatu guna mengisi waktu luangnya.

Ia melewati sebuah kuburan. Kenangan akan menggali liang lahat Kim Jaeseok berkeliaran di kepalanya. Taeyong membuang batang rokok kelimanya malam ini; ia tidak ingat tepatnya berapa, ia tidak menghitung, lalu memasuki klub yang berjarak sepuluh menit dari daerah Gambetta.

Tanpa perlu menunjukkan kartu identitas, Taeyong masuk dan langsung menegang akan jumlah manusia tak bermoral yang keringatan dan berisik. Penyesalan. Itulah yang ia rasakan. Diikuti rasa jijik dan benci yang tumbuh di dadanya dan menjalar hingga ke ujung jarinya.

Ia telah memicu hasrat membunuhnya dengan memasuki keramaian itu.

"Ini bukanlah hal baru." Si rambut merah berjalan cuek setelah menabrak beberapa wanita dan mengambil meja di sudut paling jauh. Seorang perempuan dengan sigap mendekatinya, menggulung rambutnya seraya dengan lancang duduk di pangkuannya. Tidak ada yang melihat ke arahnya. Adegan ini adalah hal paling lazim di dunia mereka.

"Hei..." Bibirnya semerah ceri dan manis, tersenyum malu. Lapang pandang Taeyong terarah ke gundukan dadanya, menyembul dari tepian bajunya yang begitu rendah.

Penisnya masih lemas meski wanita itu terus menggesekkan bokongnya di sana. Ia memang menarik, Taeyong harus mengakui itu. Ia menarik secara seksual, namun bukan tipenya. Taeyong akan memukul kepalanya sendiri kalau ia berbohong.

Taeyong membiarkannya di sana, membiarkannya melakukan apa yang ia mau. Taeyong berpura-pura lengketnya air liur yang menempel di lehernya ketika perempuan itu menciumnya tidak membuatnya kesal. Sesuatu melarangnya pergi dari sana, menyuruhnya tetap tinggal. Ia benci aroma wanita itu dan bagaimana tangannya terus menelusuri sekujur tubuhnya, namun sesuatu menyuruhnya untuk diam saja.

Sebuah kejutan menantinya.

Bagaikan patung, si rambut merah bergeming. Mata birunya menggelap di dalam ruangan temaram itu, hanya tampak ketika lampu sorot yang terang menerpa garis wajahnya. Dan ketika cahaya menyapa, ia mendapatkan tatapan yang sangat ia benci. Ia tahu ia terlihat aneh. Ada wanita menggoda di atas pangkuannya, menawarkan dirinya tapi ia tidak bereaksi apa-apa. Wajahnya dingin dan kaku, matanya kosong namun bergetar.

Rasa panas mendidih di dadanya. Tangan Taeyong meraih pinggang wanita di atasnya, meremas. Kerasnya remasan itu mengejutkannya, ia mengira Taeyong akhirnya bergairah, ia salah. Jadi ia melanjutkan kegiatannya. Ia mencium lehernya dan menggigit cuping telinganya, menjilati deretan anting perak yang menghiasinya. Kemudian bibirnya mendarat di sudut bibir sang pelempar pisau, dan mendadak Taeyong tahu mengapa ia membiarkan dirinya masuk ke dalam klub.

Sudah terlalu lama sejak kepala Kim Taejun ia cabut dengan tangannya sendiri, dan ia butuh satu lagi.

*straitjacket : pakaian khusus pasien Rumah Sakit Jiwa, lengannya akan diposisikan menyilang dan terikat.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang