Part 8

1K 171 9
                                    

2.30 A.M.

Johnny mengunci sebuah tas kecil dan mendekati Ten, membantunya mengemas barang. "Apa kita perlu obat-obatan sebanyak ini? Jaehyun," Ia memindai ruangan, mencari si penembak. "Apa kita butuh semua ini? Tidak ada yang membuntuti kita, 'kan?"

"Tidak ada. Tinggalkan semua perlengkapan, bomnya juga. Invictus punya semua itu. Gerbang akan mendeteksi bom. Kita tidak mau dihujani peluru sebelum berhasil masuk." Jaehyun mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas.

Setelah memastikan mereka membawa segala yang dibutuhkan, Jaehyun menuntun mereka ke mobil, menutup pintu sepelan mungkin. Jendela kamar Taeyong masih tertutup bahkan ketika mobil sudah menjauh dari rumah, memberi mereka ilusi bahwa anggota Red Phoenix yang ditelantarkan itu tidak tahu mereka baru saja kabur.

Mata Taeyong terbuka segera setelah rumah menjadi senyap, terlalu senyap. Dengan rencana di otaknya, Taeyong bangun dari tidurnya, ia menyalakan lampu dan mengeluarkan laptop dari bawah kasur. Ia bergerak seperti robot, masa bodoh dan cepat ketika mesin itu menyala. Duduk di kursi putar, ia membuka sebungkus permen yang ia sembunyikan di laci dan menghisap lolipop rasa anggur, menyebarkan rasa manis di pipinya.

Sederet kode diketikkan di layar sebelum sebuah laman surel muncul. Si rambut merah dengan sabar membacanya satu per satu, memicingkan matanya pada jumlah pesan yang mereka kirim ke Garnet tanpa mendapat balasan dari organisasi Eropa itu. Sekumpulan pesan lainnya berisi respon terhadap klien lokal, meminta Red Phoenix segera mengirimkan pesanan mereka yang sudah dibuat sebulan lalu.

"Apa mereka tidak bisa bilang saja kalau paketnya terjebak di bea cukai atau semacamnya, daripada memohon waktu seperti orang bodoh?"

Taeyong membuka satu pesan masuk. Pengirimnya masih dari kelompok kecil yang terlalu bernafsu mendapatkan sekantong narkoba untuk disebarkan ke selebriti dan politikus. Dengan seringaian nakal, ia mengetik jawaban, menekan tombol enter dengan gelak jail yang keluar dari sepasang bibir tipis nan pecah-pecah.

'Berhentilah mengeluh, toh kau tidak membayar semahal itu untuk sekantong barang yang kau pakai dulu sebelum kau menjualnya lagi. Kau akan segera mendapat pesananmu. Mungkin 84 tahun lagi. Sampai jumpa.

Xoxo,

Red Phoenix'

Taeyong dengan cepat menghapus surel itu. Pikirannya kembali pada masalah dengan Garnet dan ia penasaran mengapa butuh waktu yang sangat lama untuk merespon pesan dari Red Phoenix. Lee Namgyu sering membanggakan organisasi Eropa itu yang dengan dermawan memberi porsi saham yang besar pada Red Phoenix sebagai pelanggan tetapnya di Korea. Mereka tidak mungkin semudah itu berpaling, mengingat Red Phoenix mendatangkan banyak klien sebagai kelompok kelas satu.

"Masalahnya tidak sesederhana itu, 'kan? Pasti ada sesuatu di balik semua ini." Sebuah ibu jari meraba kulit pecah di bibirnya, membuatnya kembali terluka. Lidahnya dengan cepat menjilat darah itu sebelum menghisapnya sembari bertumpu di meja, jarinya mengetik, membuka jendela lainnya yang penuh kode.

Butuh beberapa menit untuk mengembalikan surel yang sudah terhapus. Kebanyakan dari pesan itu adalah pesan yang dikirim untuk menolak penawaran. Yang menjadi perhatian Taeyong adalah beberapa pesan yang dikirimkan ke sebuah akun yang sudah dinonaktifkan. Rupanya isinya masih bisa dilihat namun akun itu tidak bisa dicari keberadaannya tanpa melacak servernya.

"Kenapa Garnet mengabaikan Red Phoenix, itu yang membuatku sangat penasaran. Karena hal ini membuat para pengkhianat itu marah."

Melacak servernya adalah hal yang mudah. Isinya dikirim ke sebuah akun lokal. Ia terheran-heran karena ia kenal betul sistem surel yang dibuat sendiri oleh organisasinya, yang mana seharusnya akan otomatis memblokir surel dari akun tidak dikenal, Taeyong mengunduh data-data dari pesan mencurigakan itu dan segera membukanya.

Mata birunya mengeras saat mendapati proposal milik Red Phoenix untuk Garnet terpampang di layar. Ini adalah file yang ditransfer ke akun nonaktif tadi. Tidak ada alasan yang logis bagi siapa pun di Red Phoenix untuk mengirim dokumen rahasia ini ke orang lain. Satu-satunya yang berhak memegang file ini adalah Garnet, karena ia adalah penerima keuntungan utama dari proyek ini. Red Phoenix hendak mempererat koneksinya dengan kelompok-kelompok Eropa melalui deal rahasia tersebut. Membaca hal-hal teknis yang ada di file ini mudah dilakukan anggota Red Phoenix mana pun yang tahu operasi dan rencana perkembangan organisasi. Tidak ada seorang anggota pun yang akan mengirimnya ke luar Red Phoenix.

Pembicaraan squad kapan hari tiba-tiba berdering di kepalanya. Dari yang ia dengar, mereka juga bingung kenapa Garnet tidak memberi respon. Bagian yang menarik perhatian Taeyong adalah Jung Jaehyun yang tetap bersikeras mencoba melanjutkan operasi yang tertunda, bahkan sampai bergabung kembali dengan organisasinya dulu hanya untuk memuaskan para pelanggan.

"Pasti ada maksud tersembunyi, 'kan? Kupikir kau terlalu ambisius untuk kembali ke geng kelas dua? Apa yang akan kau lakukan, Jaehyun?" Taeyong membaca proposal itu dan kembali membuka pesan-pesan mencurigakan tersebut. "Apa tujuanmu menghubungi Garnet tanpa melalui Red Phoenix? Apa kau membodohi kami selama ini?"

Sebuah tawa keluar dari bibirnya dan lolipop jatuh ke pahanya, meninggalkan bekas lengket di celananya. "Pesan-pesan aneh ini... seseorang di dalam organisasi ini sudah menanti kehancuran Red Phoenix. Aku penasaran apakah pelakunya salah satu di antara kalian. Meski ini sudah," Mata birunya menyipit mendekat ke monitor. "Sudah hampir dua bulan sejak surat ini dikirim ilegal, tapi bedebah seperti kalian mulai berani mencoba bicara dengan Garnet lewat kelompok kelas rendahan. Apa itu kau, Kim Doyoung? Kau telah bekerja sama dengan Jung Jaehyun selama dua minggu ini. Apa kau berencana menggunakan proposal ini untuk merebut bagian Red Phoenix dan memberinya ke Invictus?"

Memikirkan kembali asumsi konyolnya, Lee Taeyong terbahak-bahak, matanya berair sambil meremas perutnya.

"Sial! Apakah itu," Si rambut merah mulai tenang kembali, menunjuk file yang ada di layar. "Apakah itu alasannya kita sangat mudah ditemukan? Apa ini semua jebakan? Apa kalian membunuh adikku dan sang Kingpin untuk ini? Apa kau bekerja sama dengan Dragonaire, merayu mereka dengan uang hanya untuk menipu kedua belah pihak? Apa pembunuhan Kim Jaeseok adalah hambatan tak terduga yang malah menguntungkan kalian? Jenius sekali. Jangan-jangan kalian adalah pengkhianat besarnya, ya."

"Siapa di antara kalian yang melakukan ini," Ia menutup laptopnya keras-keras, menyalakan sebatang rokok dan menghirup dalam-dalam nikotin, lehernya cekung seiring ia menyiksa paru-parunya. Ia terbatuk dan tertawa ketika jarinya mulai berkedut-kedut. "Ayolah, Keparat, beri aku motivasi untuk minum darah lagi. Aku sudah lapar."

Merosot di kursinya, si rambut merah menatap langit-langit saat asap rokok mengaburkan pandangannya. Bayangan wajah Jung Jaehyun terlintas di kepulan asap itu sebelum menghilang, lenyap menjadi ribuan bintik.

"Aku akan menghancurkanmu karena kau mengkhianatiku. Kalian semua. Kau tidak boleh menapaki tangga yang dibangun sendiri oleh Lee Namgyu. Apa yang akan Garnet lakukan kalau mereka sampai tahu kalian memanfaatkan Red Phoenix?"

Sebuah senyuman miring menghiasi wajah sempurnanya.

"Nampaknya kita akan bermain satu permainan lagi..."

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang