Pinggiran surat kabar menjadi kusut di kasarnya genggaman tangan itu. Mata sehitam arang milik Jaehyun memindai informasi mengenai pembunuhan terbaru di sebuah klub yang berjarak beberapa menit dari rumah mereka. Semua detailnya terlihat seperti perbuatan Lee Taeyong. Sayangnya, tidak ada foto. Namun para saksi mata membagikan apa yang mereka ingat dari si pelaku: rambut merah, rahang tajam bagai pahatan, alis tebal dengan goresan di kiri, dan salah satu telinganya dihiasi anting-anting. Pria itu juga ditembak di bahu oleh polisi, tetapi berhasil kabur.
"Kabur?" Jaehyun membuang napas. "Luar biasa. Antara dia bukan manusia atau polisi terlalu malas. Mungkin keduanya."
"Ada apa?" Doyoung duduk di salah satu kursi putar, meletakkan cangkir kopi panasnya di meja. Surat kabar dilemparkan ke pangkuannya dan ia membaca berita dengan cepat, alisnya terangkat. "Menakjubkan."
"Sangat menakjubkan. Ini semua karena tidak ada yang merantainya seperti anjing gila." Jaehyun berjalan ke dapur dan mengambil sepiring roti bakar dan kopinya, menggumamkan terima kasih pada wanita yang menyiapkan sarapan itu. Ia terlihat seperti putranya ketika rambutnya terkepang. Jaehyun bingung dengan yang ia rasakan.
Ketika ia kembali ke kursinya, ia melihat wanita itu memandanginya namun mereka sama-sama menghindar, berkonsentrasi menghabiskan sarapannya. Yang lain belum bangun sebab tidak ada rencana pasti untuk hari ini.
Doyoung menggulung koran itu dan mengetukkanya di tangan, membuat ritme. "Jadi, apa kau akan menelepon ayahmu?"
"Dia pasti menunggu laporanku, tapi aku tidak punya apa-apa, Doyoung. Kalau kita kembali dengan tangan kosong, lebih baik kita ledakkan saja pesawat kita nanti untuk menghindari amarahnya. Percayalah," Jaehyun meniup kopinya dan dengan hati-hati menyesapnya. "Bukan pemandangan yang indah."
Ia menaruh cangkirnya dan mengeluarkan beberapa kartu nama dari kantong celananya. "Kita tidak bisa bertemu baik dengan Garnet atau Casanov karena mereka sudah bermitra sekarang, tapi aku berkenalan dengan beberapa orang; mereka tidak sekuat dua organisasi itu tapi kuharap mereka punya penawaran yang sama bagusnya. Untuk menggantikan ekspansi ke Eropa yang gagal itu."
Meneliti kartunya, Jaehyun mempertimbangkan satu per satu organisasi-organisasi itu. Kebanyakan menawarkan pelayanan yang sama dan produk yang bisa disediakan oleh Invictus sendiri. Ia masih cukup kesal dan marah tentang proposal itu, tapi mereka harus merelakannya. Invictus masih membutuhkan koneksi ini. Lagi pula, jika ia menyerah semudah itu, Lee Taeyong akan menang. Itulah yang pria sinting itu ingin saksikan — kekalahan Jung Jaehyun.
Ia memegang kartu terakhir, bibirnya mengerucut tanda tertarik akan apa yang ia lihat.
"Yang satu ini mengadakan lelang tiap bulan, menjual pria dan wanita dengan harga terjangkau. Dari berbagai negara. Kurasa kita bisa membawanya pulang dan menaikkan harga jual mereka."
"Itu apabila mereka layak."
Jaehyun mengangguk. "Maka kita harus pastikan mereka layak dijual. Sudah waktunya Invictus merambah perdagangan manusia. Permintaannya lumayan tinggi di pasaran."
"Akan dijual secara lokal saja atau ke negara lain juga? Mengingat kita sedang mencari reputasi internasional." Doyoung mengingatkan, masih mengetukkan koran di telapaknya.
"Kita usahakan itu. Mari diskusikan dengan ayahku waktu kita kembali nanti." Jaehyun berujar lalu melanjutkan menyantap roti bakarnya seraya Doyoung bergumam tentang kembali ke kamarnya.
Ini masih pagi, pukul sembilan lewat. Memikirkan tidak ada tugas seharian ini untuk dikerjakan, Jaehyun merasa kesal, ia memandangi cangkirnya. Ia benci tidak melakukan apa-apa; membuatnya merasa tidak berguna.
Mungkin ia harus menghubungi kelompok yang mengadakan lelang itu untuk mengonfirmasi kehadirannya.
"Tuan?"
Ia memandang naik segera setelah Léonie berhenti di hadapannya. "Ada apa?"
Wanita itu terlihat ragu-ragu, mencubiti tepi baju terusannya. Aura takut terpancar darinya, sangat kuat hingga Jaehyun merasa iba padanya. Ia tahu perempuan itu tidak pantas diperlakukan buruk namun ia tidak bisa menahannya. Jika ia ingin lepas dari orang itu, maka ia harus menyembunyikan ibunya ini. Meski membawanya ke Prancis adalah sebuah kesalahan sebab ternyata putranya juga berada di negara yang sama.
Sangat gila bagaimana mereka terus bertemu walau ia sudah melakukan semuanya semampu yang ia bisa untuk memutus ikatan antara mereka.
"Aku tidak punya waktu, Léonie." Bahkan kebohongannya itu menamparnya untuk alasan sampah yang ia utarakan. Ia punya waktu yang sangat luang. "Bicaralah."
"Aku... aku punya permintaan, Tuan Jung."
Alisnya terangkat penuh tanya. "Apa itu?"
Mata Léonie bergetar ketika bertemu matanya dan ia menampilkan senyum kecil penuh harap, sangat berbeda dengan wajahnya ketika ia pertama melihatnya di Markas Besar. Dulu ia terlihat riang, bagai manusia yang belum pernah merasakan kekejaman tangan Dragonaire. "Jika kau sudah tidak sibuk lagi, bisakah kau membantuku?"
"Membantumu apa? Kurasa kau bisa meminta bantuan pada teman-temanmu di kantin. Kalau ini tidak penting, tolong per—"
Jaehyun terkejut, kopinya hampir tumpah dari cangkir ketika wanita itu berlutut di hadapannya, terlihat sangat putus asa. "Léonie."
"Tuan," Tangannya merangkap di depan dada, memohon. Jaehyun merasa dinding pertahanannya runtuh saat ia melihat wanita tua itu mulai menitikkan air mata. "Aku kehilangan sesuatu... sesuatu yang sangat kusayangi dan berharga untukku. Aku mencoba meminta Tuan Heejun, tapi dia tidak mau dengar. Aku tidak tahu harus memohon pada siapa lagi." Suaranya pecah di akhir dan ia berdeham, matanya berkedip cepat untuk menghentikan air matanya. "Aku tidak memaksamu; aku tahu kau adalah orang yang sibuk. Tapi aku bisa merasakannya... aku tahu kau bisa membantuku."
"Bagaimana jika aku bilang padamu kalau beberapa hal memang ditakdirkan untuk hilang? Memang seharusnya tidak kau temukan lagi? Alasan kau tidak menemukannya adalah karena mereka tidak ingin ditemukan." Ia mencoba membuatnya menyerah. Jaehyun sudah tahu apa yang ia bicarakan. Dan itu bukanlah sesuatu, tapi seseorang.
Gelengan kepalanya membuktikan kegigihan dirinya untuk mencari Taeyong. "Ini salahku. Aku melepasnya dan membiarkannya pergi, jauh dari jangkauanku. Aku hanya mencoba peruntunganku, tapi kalau kau menganggapnya tidak penting, maka aku mengerti." Ia berdiri dan mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya dan kembali ke dapur.
Jaehyun memandanginya. Kalau saja ibunya masih hidup, pasti ia seusia Léonie. Ia tidak terlalu ingat tentang ibunya. Mereka tidaklah dekat.
"Kalau aku sempat."
Ia berputar, matanya penuh pengharapan.
"Aku akan membantumu kalau sempat."
Janji kosongnya membuat senyum cerah itu kembali terpampang di wajahnya. Kerutan tampak di sudut matanya dan ia bersinar, merasa senang telah mendapat sedikit kekuatan.
Jaehyun tidak tahu mengapa ia berjanji seperti itu. Ia tahu betul ia tidak mau lagi Taeyong ada di hidupnya.
Tapi melihat Léonie senang membuatnya lega. Seperti seporsi bebannya terangkat dari bahunya.
Mungkin seperti inilah rasanya ketika kau tahu kau telah membuat ibumu bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...