Kamar itu bersih, rapi dan berkilau untuk hotel bintang tiga. Tas belanjanya dijatuhkan sembarang di lantai berkarpet, Taeyong membuka bajunya dan melemparnya ke kaki ranjang sebelum masuk ke kamar mandi.
Air hangat sempurna menenangkan tubuhnya, melegakan ototnya yang tegang. Rambutnya menempel di dahi seraya ia menekan kepalanya di dinding. Taeyong menutup matanya, menghirup udara dan menahannya untuk beberapa detik sebelum menghembuskannya keras-keras, menatap tetesan air yang mengenai kakinya.
Sudah lama sekali sejak ia terakhir tinggal di Prancis. Satu-satunya kenangan yang ia miliki terasa kabur, sebab ia menghabiskan masa kecilnya di rumah dan dilarang keluar oleh ibunya guna meredam rasa khawatir para tetangga.
Bahkan saat itu, Taeyong sudah menjadi seorang monster.
Ia tidak pernah menduga hari ini akan datang. Ia tidak pernah bermimpi akan kembali ke tempat yang tidak ia rindukan ini. Taeyong hidup dari hari ke hari mengabaikan dunia, hanya mencoba hidup untuk saat itu saja dengan caranya, bagaimanapun hasilnya.
Ia tidak menduga akan kembali ke Paris sendirian, tanpa Lee Namgyu, tanpa Olivia, tanpa ibunya yang belum ia temukan. Janji yang ia tinggalkan padanya di gudang sandera sebelum berpisah kembali berdering di kepalanya.
Taeyong mendadak merasa gundah. Haruskah ia mencari ibunya? Atau tidak? Pasti ibunya tahu ia tidak peduli, bahwa janji itu hanyalah janji kosong untuk menenangkannya saja.
"Sial. Jalang itu pasti memegang janjiku."
Taeyong menyabuni tubuhnya dan membaluri rambutnya dengan sampo, membiarkan busanya dibilas dengan air hangat lalu melilitkan handuk di pinggangnya tanpa mengeringkannya terlebih dahulu.
Perasaan hangat sekali lagi merengkuhnya ketika ia berbaring di kasur, mendesah rileks. Sepasang mata biru memandangi langit-langit sembari otaknya merancang rencana, mengatur siasat yang harus ia lakukan besok malam.
Garnet mengadakan gala tahunan di sebuah hotel mewah di pusat kota. Acara itu akan disamarkan sebagai acara penggalian dana. Seharusnya akan berjalan lancar, mengingat pertemuan para keluarga kriminal ini didukung oleh pejabat yang berkuasa juga.
Dan Taeyong berani bertaruh nyawa bahwa Invictus akan turut hadir di sana. Jung Jaehyun sangat ingin menghubungi Garnet. Mereka tidak mungkin melewatkan kesempatan ini.
"Well," ibu jarinya meraba bibir bawahnya. "Berarti aku harus bergerak lebih cepat darimu."
"Bagaimana aku harus melakukannya, Jaehyun?" Si rambut merah menghalangi cahaya terang dari lampu dengan tangannya, membiarkan beberapa berkas cahaya terselip dari sela-sela jarinya. "Apa aku harus membuatmu menunggu dan mengantisipasi kedatanganku? Membuatmu melompat girang, membuatmu senang sebelum menghancurkanmu dengan kabar yang kubawa? Kabar bahwa kau tidak berhak mendapatkan pujian untuk proposal itu? Aku tidak tertarik dengan Red Phoenix, Jaehyun. Aku sama sekali tidak peduli. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu berhasil begitu saja setelah kau mengkhianatiku. Apa orang Jepang itu berhasil menghasutmu? Apa mereka akhirnya berhasil membuatmu berpikir kalau aku adalah orang paling sinting, seperti bagaimana mereka berusaha membuatmu membenciku di hari pertama kau bergabung dengan Red Phoenix?"
Tangan yang bergetar mencari celana yang tergeletak di lantai, dan Taeyong mengambil rokok terakhir yang ia punya, menyalakannya dan meracuni paru-parunya lagi. "Bedebah macam kalian sama saja, ya." Ia menjentikkan abunya di kasur dan menggosok matanya dengan tumit tangannya. "Keparat. Bagaimana bisa kalian menipuku seperti ini. Bekerja sama dengan Dragonaire dan menghancurkan Red Phoenix? Jenius sekali."
Taeyong duduk dan memeluk kakinya dengan sebuah lengan, menatap dinding. Badannya perlahan bergerak maju-mundur seiring tangannya yang bebas memegangi sisi kepalanya. "Jadi itu sebabnya kau sangat berani pergi ke Garnet, karena salah satu dari kalian memberikan proposalnya ke sana. Benar, 'kan? Aku berhasil mengungkapnya, 'kan? Dan kemudian salah satu dari kalian membocorkan tempat persembunyianku — di pondok? Sialan." Taeyong mendesis, meludah, dan membuang batang rokok yang masih menyala ke dalam akuarium kecil di nakas, mengejutkan ikan mas yang malang. "Seseorang mempermainkanku, aku terlihat sangat bodoh."
Ia turun dari kasur dengan cepat dan mengambil setelan jas putih gading yang baru dibelinya dari kantong kertas, mengangkatnya sambil bercermin. Taeyong bersenandung senang, meluruskan kainnya.
"Biasanya aku tidak pernah peduli dengan orang yang menghinaku. Tapi aku juga tidak akan membiarkan mereka hidup."
Ia melihat refleksinya di cermin. Taeyong menyaksikan niat jahat yang ia miliki lewat iris birunya, memperingatinya akan bahaya yang semakin mendekat.
"Iblis ada di antara kita, Jaehyun. Aku sedang menatapnya saat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...