"Pistol, bom dan benda lainnya sudah ada di pesawat jet. Pastikan kau tidak perlu menggunakan semuanya. Aku percaya kau bisa melakukannya dengan baik, Jaehyun."
Dengan jawaban singkat sebagai janji, Jaehyun menutup telepon dan memasukkannya kembali ke dalam kantong celana. Mereka keluar dari mobil hitam itu, membawa koper masing-masing sebelum menyeberangi landasan terbang untuk naik ke pesawat.
Jaehyun mengizinkan seorang pramugara berlabel nama Kim Jungwoo untuk meletakkan barang pribadinya di kompartemen sebelum duduk di kanan, dengan meja bundar kecil sebagai pembatas antara kursinya dan kursi di hadapannya. Sebuah gelas berisi wine sudah tersedia di atas meja.
Setelah semuanya lengkap dan mereka siap lepas landas, sang pilot mengingatkan mereka hal-hal dasar yang harus mereka ikuti. Lepas landasnya terasa agak lama bagi Jaehyun yang benci terbang, ia mengulik telinganya dengan kelingking lalu kembali rileks setelah pesawatnya stabil di udara.
"Berapa lama kita akan terbang?"
"Sekitar 12 jam tanpa berhenti." Jaehyun menjawab Doyoung tanpa melihatnya, memilih untuk membaca majalah glamor yang terletak di rak kayu. "Apa kau sudah mengonfirmasi kehadiran kita di gala?"
Jari Doyoung bergerak di atas touchpad laptopnya. "Aku baru saja mengirim konfirmasinya dua jam lalu. Mereka mengirimkan sebuah logo — ciri khas mereka untuk memberitahu kalau kita telah resmi menjadi tamu undangannya."
Jaehyun menggumam puas dengan jawabannya. "Mereka tidak bilang apa-apa tentang nama kita?"
"Tidak ada. Kurasa Invictus belum dikenal di Eropa dan Red Phoenix adalah satu-satunya yang Garnet tahu. Mereka tidak mendiskriminasi organisasi baru yang ingin bergabung di pesta tahunan ini, mungkin."
"Itu pertanda baik, 'kan?" Jaehyun memandang teman-temannya, memperhatikan wajah-wajah bersemangat itu kecuali Doyoung yang terlihat bosan. "Proposal kita akan lebih menarik lagi." Ia kembali membaca majalah di tangannya, pikirannya masih hampa sembari membaca paragraf yang tertulis. "Apa ini pertama kalinya kalian datang ke gala itu? Siapa yang mendampingi Lee Namgyu waktu Red Phoenix menghadiri galanya dulu?"
"Kaum elite. Aku sudah pernah bilang padamu, ingat?" Johnny mengingatkannya, terdengar bingung. "Mereka adalah investor penting di Red Phoenix. Tentu saja, hanya orang-orang penting yang diajak untuk bertemu tamu yang sepadan dengan mereka." Ada jeda sebelum melodi lembut mengalun dari pengeras suara dan pramugara yang sama memberitahu mereka untuk menikmati penerbangan. "Aku penasaran apa yang akan Garnet pikirkan tentang Red Phoenix yang tidak hadir tahun ini."
Ten dengan sopan meminta kudapan ringan pada pramugara, tidak ingin minum wine untuk saat ini. "Pastinya mereka heran. Tapi jika kita menduga mereka punya masalah personal — mungkin antar bosnya — sampai-sampai Garnet mengabaikan Red Phoenix, kurasa mereka tidak akan begitu peduli kalau tidak bertemu dengan mitra lamanya. Mereka bukan tipe yang posesif, 'kan?"
Mereka serempak tidak menjawab pertanyaan Winwin saat dia bertanya apakah ada game baru diinstal di komputer tablet yang disediakan untuk masing-masing penumpang. Yuta sudah pergi melanjutkan tidurnya sedangkan Doyoung menaruh laptopnya, memutuskan untuk beristirahat.
Jaehyun mengerti. Ia adalah pemimpin untuk misi ini, karena ialah yang menyarankan penggunaan proposal Red Phoenix untuk menjangkau Garnet. Mereka juga punya Invictus, organisasi yang akan ia ambil alih dalam waktu dekat.
Ia melirik partisi di belakangnya. Di balik pembatas itu ada seseorang yang tidak perlu mendengar percakapan mereka barusan. Ia tidak punya pilihan lain selain mengajak Léonie dengannya. Siapa tahu ia berguna nantinya.
Kembali di bandara Gimpo, sebuah pengumuman disiarkan untuk memanggil para penumpang penerbangan ke Prancis untuk menyiapkan paspor dan boarding pass.
Tak lama kemudian, ia menyerahkan kertas itu, mengabaikan tatapan aneh yang ia dapatkan karena tidak membawa tas sama sekali. Bukan hal baru kalau orang-orang nyaris tidak membawa apa pun ke luar negeri, tapi Lee Taeyong hanya membawa tas selempang dengan laptop di dalamnya. Ia mulai bergidik ngeri, terpicu dengan perhatian yang tidak ia inginkan sebelum masuk ke dalam pesawat, bersyukur kursinya terletak di sebelah jendela. Ia tentu tidak mau duduk selama 13 jam di sebelah pria botak yang duduk di depannya.
Mengingatkannya pada budak Dragonaire yang ia gorok dengan satu tangan.
Kaki Taeyong ditekuk dan menginjak kursinya, berencana ingin duduk seperti itu sampai tiba di tujuan — tapi segera ditegur oleh pramugari yang memandangnya tegas. "Tuan, tolong duduk dengan benar. Anda bisa kena masalah atau lebih buruk lagi, terluka."
Mendecakkan lidahnya, Taeyong mematuhi perintah itu. Ia bisa menekan hasratnya untuk beberapa jam. Ia hanya perlu mengabaikan faktor-faktor yang bisa memicunya di pesawat ini; suara mengorok, suara bercakap-cakap yang berisik, atau bayi yang menangis. Hanya akan merepotkannya saja kalau ia tidak bisa menjaga tangannya, terutama jika pisau roti dibagikan ketika waktu makan tiba.
Ia akan dengan senang hati mengumpulkan pisau-pisau itu. Ia sebal tidak bisa membawa pisaunya ke dalam kabin. Benda itu istimewa untuknya, ia pernah menggunakannya untuk musuh dan sudah berlumuran darah musuhnya juga.
Ini bukan masalah besar. Ia bisa membeli pisau baru dan mencari musuh baru yang kabur darinya.
Pikiran itu membuatnya terbahak-bahak, mengejutkan pasangan tua yang duduk di sebelahnya. Ia tidak meminta maaf, bahkan tidak terlihat merasa bersalah. Taeyong tidak pernah meminta maaf atas perbuatannya.
"Ah, Prancis, nous nous reverrons (kita akan berjumpa lagi)."
Oh betapa ia rindu bicara dengan bahasa ibunya. Saat Lee Namgyu memboyong mereka ke Korea, ia dipaksa belajar bahasa Korea. Mudah untuk dipelajari, karena tanpa ayahnya pun, Léonie sudah fasih bicara, dan ia juga memilih untuk bicara dalam bahasa Korea dengan anak-anaknya.
Taeyong melihat langit yang terbentang luas di luar dan awan yang beriak di bawah pesawat. Ia terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga ia tidak menyadari proses lepas landas yang tidak nyaman.
13 jam. 13 jam sebelum ia mendatangi Garnet untuk pertama kalinya dan menghancurkan rencana Jung Jaehyun.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...