"Ini cat rambutnya."
Taeyong menangkap kotak itu dan membaca petunjuk pemakaiannya, permen lolipop mendesak pipinya. "Jangan masuk ke kamar mandi." Ia berputar dan berjalan untuk mengecat rambutnya, namun lengan sehatnya ditahan.
"Aku bisa memban—"
Suara tangannya menepis tangan Risa bergema di seluruh ruang tamu. Jaejoong melihat dari balik buku medisnya, menyaksikan wajah wanita itu yang penuh rasa kaget dan juga sakit hati.
"Kau tidak perlu melakukan itu." Suaranya bergetar sembari menekan tangannya di dada.
Taeyong mengabaikannya dan mengunci dirinya di dalam kamar mandi.
Risa menghentakkan kaki berjalan ke sofa, dengan kekanakan menyilangkan tangan di dadanya dengan tatapan terpaku pada sang dokter yang duduk dengan cuek di dapur. "Aku benci laki-laki."
Jaejoong tidak melihatnya. "Aku yakin mereka punya alasan mengapa mereka membuatmu membenci mereka."
"Sialan."
Tepat 40 menit kemudian ketika Taeyong kembali, menepuk kepalanya dengan handuk. Warnanya tidak luntur saat ia menggosokkan kain tersebut pada rambutnya, dan Taeyong melempar benda itu pada sandaran kursi di dapur sebelum menyisir helainya yang masih basah dengan jari.
"Tuhan..." Risa sangat terpesona, seolah sudah lupa dengan perlakuan Taeyong padanya. "Kau terlihat sangat tampan. Aku lebih suka kau dengan warna rambut alamimu."
Si pelempar pisau diam saja sambil bersandar di dinding, satu kaki bertumpu di sana seiring tangannya masuk ke dalam kantong jeansnya. Tangan lainnya bermain di batang lolipop yang sudah ia gigit, permennya sudah habis. "Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Aku bisa menari erotis untukmu. Itukah yang kau mau?"
Mereka mendengar dengusan yang datang dari pria lain di ruangan itu tapi ketika Risa melirik sang dokter, wajahnya ditutupi dengan buku kedokteran yang sedang ia baca.
"Jauh dari itu." Batang permen itu kembali dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah dengan giginya yang tajam. "Aku butuh pisau dan pistol. Peluru juga, tentu saja."
Risa menegang beberapa detik sebelum raut wajahnya berubah menjadi penasaran. "Untuk apa?"
Taeyong menggigit setengah batangnya, mengunyahnya sebelum membuangnya. Batang itu terjatuh di lantai dengan serat air liur menyelimutinya. "Taeil pantas menerima sesuatu sebagai ganjaran mengkhianati Red Phoenix, 'kan?"
Rasa lega terpancar lewat sebuah senyuman simpul yang terbentuk di bibir kenyal nan merahnya. "Ah, ya. Benar."
Jalang menyedihkan ini tidak bisa berakting. "Kau tahu di mana aku bisa mendapatkannya?"
"Ya." Jawaban instan itu menandakan bahwa Risa sangat bernafsu untuk membalaskan dendamnya pada Moon Taeil lewat perantara Taeyong. "Ada kelompok kelas dua lokal yang menjual senjata api, dan juga perdagangan manusia. Venandi."
"Menyenangkan, ya, menjadi intel." Taeyong mendorong tubuhnya dari dinding dan merebut buku yang sedang dibaca Jaejoong. Dokter itu hanya bisa berdengus. "Kau tahu banyak. Aku ingin tahu kenapa Taeil tidak menyuruh seseorang untuk melenyapkan akun itu dari sistem. Apa itu mustahil? Atau mungkin dia tidak begitu pintar?"
"Mungkin..." Suaranya semakin pelan, kemudian dia mengubah ekspresinya menjadi kembali tersenyum. "Dia hanyalah asisten! Pasti itu alasannya."
Si rambut karamel mengangguk, lelah dengan omong kosongnya. Ia harus mengatur siasat untuk membunuhnya setelah Moon Taeil. "Bawa aku ke Venandi besok. Aku harus ke Garnet secepatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...