"Apa ini teater?" Yuta bertanya segera setelah ia duduk di samping Jaehyun. Terdapat meja kecil yang bisa ditarik dan dibuka yang menempel dengan punggung kursi di hadapan mereka, meja itu sudah terisi makanan yang bisa mereka santap saat lelang berlangsung. Yuta pikir ini lebih baik daripada tidak sama sekali — mereka sengaja tidak makan malam, mengira mereka akan mendapatkan sajian yang lebih mewah. Setidaknya ada wine, bukan air putih. Pantas saja kelompok ini kelas dua. Pemimpinnya pasti sungguh pelit.
Memantau ruangan dengan saksama, ia menyadari bahwa para hadirin memakai pakaian yang sama — jas. Seperti gala. Lagi pula, ini masih acara formal yang diadakan oleh Venandi.
Jaehyun meminum anggurnya, meneguk lalu berdeham puas. "Terlihat seperti teater. Walau kau tahu ini tidak berfungsi selayaknya gedung teater. Area ini tidak biasa dikunjungi wisatawan atau bahkan penduduk lokal, tersembunyi dari keramaian. Tempat ini cocok," Ia melihat panggung di mana seseorang dengan tergesa-gesa mengintip dari balik gorden berkali-kali. "Untuk menjual barang."
"Aku tahu Red Phoenix dulu biasa berpartisipasi dalam bisnis macam ini, tapi bagaimana mereka bisa mendapatkan orang-orang ini untuk dijual?"
"Mereka diculik. Kau tahu prosedurnya — berjalan sendirian, mabuk, dibius di klub. Para pemilik klub ini adalah klien mafia. Beberapa di antaranya dengan rela menjual diri mereka untuk diberi uang sebagai imbalannya. Organisasi tidak peduli uang itu akan digunakan untuk apa selama mereka bisa mendapatkanmu."
Winwin, duduk di belakang Jaehyun menimpali mereka. "Ke mana mereka akan dikirim?"
Jaehyun meletakkan gelasnya dan mengelap bibirnya dengan serbet. "Tergantung tujuannya. Tapi kebanyakan dari mereka dibeli untuk menjadi budak seks. Itulah tujuan utamanya. Alasan inti dari mengapa perdagangan manusia eksis di dunia ini." Sedikit merengut, ia menoleh ke arah Sicheng. "Bukannya kalian sudah tahu hal-hal ini?"
Seseorang menjawab, suaranya teredam akibat mulutnya yang penuh terisi roti. Wajah Johnny menangkap serbet yang dilempar Jaehyun. "Kami punya asumsi tapi kami tidak tahu spesifiknya. Kami adalah anggota yang bekerja di lapangan, 'kan? Bukan seorang kandidat untuk menjadi pemimpin mafia berikutnya."
Jaehyun merasa Johnny ada benarnya. "Oke. 10 poin untuk Johnnydor*."
"Mengapa aku tidak tuli."
Jaehyun bahkan tidak ingin melihat Yuta.
Di sisi sebelahnya, Doyoung menatap mereka tajam dari balik kacamata minusnya. "Hei, diamlah. Sudah mau dimulai."
"Sst!" Ten mendesis, bersandar pada lengan Johnny. "Tidak penting. Mereka semua predator—"
"Kita predator."
"Aku tahu, Winwin. Predator ini akan berteriak senang waktu lelangnya dimulai."
Winwin bergumam sesuatu yang terdengar seperti 'kerdil'. "Berapa yang akan kita beli?"
Jaehyun mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Yang penting adalah kita pulang dengan barang bagus, tidak masalah berapa jumlahnya. Dua, tiga, selama mereka berkualitas tinggi. Kita baru saja mulai. Anggap saja ini percobaan."
Suara jantan bergaung di teater itu, memotong Winwin yang hendak menyahuti ucapan Jaehyun. Di atas panggung ada seorang pria yang bersetelan jas rapi. Ia terlihat berusia 40-an dilihat dari garis-garis wajahnya. Namun karisma dan auranya sepadan dengan Lee Namgyu dan Fort.
"Selamat malam, gentlemen!"
"Oh," Winwin mengerjap. "Ini dalam bahasa Inggris. Apa itu bos mereka?"
Doyoung memilih menjawab dengan cepat agar temannya itu diam. Terkadang, Winwin tidak pandai membaca situasi. "Ada orang asing di sini dan ya, sepertinya itu bos mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...