Kepala Taeyong menghantam dinding dengan suara benturan keras saat Jaehyun menahan tubuhnya dengan menekan lengan di dadanya. Tiada ekspresi di wajah yang lebih tua, mengingatkannya pada misi pertama mereka, ketika ia mengatakan Taeyong terlihat seperti tabung kosong yang dulunya adalah manusia, ketika Taeyong menusuk anggota-anggota Dragonaire dengan pisau kesayangannya.
"Apa kau di sini untuk membunuhku?" Jaehyun menepuk-nepuk tubuh Taeyong, membuka jasnya dan menarik kemeja yang dimasukkan ke celana. Tidak ada sabuk berisi pisau.
Taeyong berdiri tanpa kata, masih cuek dan melihat ke sekeliling ruangan, kagum dengan kemegahannya. "Kamar yang bagus. Punyaku bintang tiga. Apa kamar ini bintang sepuluh?" Matanya melihat Jaehyun yang sedang berlutut di lantai, meraba salah satu kakinya. "Aku tidak datang ke sini untuk blow job."
"Sialan," Jaehyun mendesis lalu berdiri. "Jangan pura-pura bodoh denganku, Taeyong. Gunakan IQ 220mu itu." Ia meraih topeng milik yang lebih tua, ingin membukanya dan melihat wajah Taeyong namun ia dengan cepat menghindar.
Kini ia ada di ujung kamar, si pelempar pisau perlahan meneliti deretan bingkai lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan itu menceritakan sejarah Prancis. Ia tahu beberapa, karena ia sering ke perpustakaan umum di Korea untuk mencari tahu lebih banyak tentang tanah kelahirannya.
"Kenapa aku di sini katamu? Apa kau lupa kalau aku adalah orang Prancis, lahir di Bordeaux, pindah ke Paris untuk beberapa waktu sebelum diboyong ke Korea? Atau kelinci ahli informasi itu lupa untuk mencarikan dataku untukmu? Aku hanya pulang kampung."
"Jangan alihkan pembicaraannya!" Jaehyun meledak putus asa, ia ingin tahu kebenarannya. "Kau datang ke sini untuk membunuhku, 'kan? Karena kau tidak bisa menerima fakta bahwa kau lagi-lagi ditinggal sendirian? Untuk kedua kalinya?"
Jaehyun tidak melihatnya. Ia dengan lengah mendekati si rambut merah sembari menuduhnya, ia tidak menyangka akan ditendang dengan keras di perutnya, membuatnya terhuyung mundur hingga kakinya menabrak ranjang dan ia terjatuh, duduk sambil meremas jasnya. "Kau gila —"
"Gila? Gila bagaimana? Aku tahu aku gila. Aku sudah berhenti menyangkal kalau aku sakit jiwa sejak beberapa tahun lalu. Aku benci manusia, aku benci bicara, aku benci dilihat orang-orang, aku benci suara manusia bernapas di dekatku. Aku benci fakta orang sebanyak itu masih hidup di waktu yang bersamaan. Dunia ini sudah terlalu ramai, Jaehyun. Terlalu banyak manusia. Sekarang kau tahu mengapa aku ingin membunuh setiap makhluk hidup yang membuatku kesal. Jangan mulai. Aku tidak ke sini untuk membunuhmu. Atau mungkin aku ingin membunuhmu, tapi tidak dengan cara yang kau duga."
Taeyong mendekatinya, menekuk tangannya di lutut agar ia sejajar dengan wajah Jaehyun. "Apa kepalamu terbentur? Padahal aku yang tadi terbentur. Hei," Si rambut merah mengangkat dagu Jaehyun dengan telunjuknya. "Aku ditelantarkan oleh orang yang seharusnya menjagaku, tiga kali. Ayolah, Jaehyun. Aku tahu kau bisa matematika. Pertama, ketika Lee Namgyu meninggalkan kami. Kedua, waktu kau membiarkan orang Jepang itu menyeretmu pergi dari perang dengan Dragonaire, dan ketiga... ini. Kau pikir aku bodoh? Jangan remehkan aku."
Taeyong menjauh, berjalan mundur namun matanya masih pada Jaehyun. "Tiga kali. Apa itu artinya 'aku membencimu'?"
"Kau pikir aku akan tinggal untuk menjagamu? Memangnya kau anak-anak? Oke, aku mengerti." Jaehyun berdiri, agak kesakitan. "Kau terobsesi denganku."
Tuduhan jujur itu tidak berdampak apa-apa pada Taeyong seperti yang Jaehyun inginkan. Ia tetap berwajah datar, bibirnya tenang dengan mata yang menusuk jiwanya.
"Obsesi," Taeyong mengulang kata itu. Tiba-tiba ia tersenyum sembari menjentikkan jari seakan ia baru saja menemukan sesuatu yang menarik. "Itu dia! Itu kata yang aku cari selama ini! Aku bodoh sekali. Ah, Jaehyun. Kau jangan terlalu mengandalkan IQku ini. Apa kau percaya aku tidak pernah memikirkan kata itu sebelumnya?" Taeyong mulai mondar-mandir, tangannya berkacak pinggang sambil tubuhnya bergetar karena tertawa. "Obsesi!" Suaranya bergema di ruangan dan Jaehyun hanya terpana seraya menyaksikan si rambut merah mulai kehilangan kewarasannya.
Taeyong berhenti lalu melihatnya dengan mata membesar dan senyuman jahat menghiasi wajahnya. "Itulah kata yang aku cari untuk menggambarkan kegigihanmu mencapai puncak! Kau terobsesi! Kau ingin sekali meraihnya. Kau mencuri proposal Red Phoenix untuk keuntungan Invictus. Kau sangat tidak tahu malu, Jaehyun. Merebutnya dari Lee Namgyu? Makanya kau datang ke gala ini, bukan?"
Mata Jaehyun melebar kaget dan jantungnya bergemuruh di dadanya. Ia tidak mencuri proposal itu. Ialah yang yang mendapat dokumen itu sebelum ia menemukannya! "Aku tidak mencurinya, Taeyong. Proposal itu sudah tak berguna lagi untuk Red Phoenix karena organisasi itu sudah hancur. Mati. Mati bersama ayahmu. Siapa yang akan menggunakannya? Aku masih anggota resmi Red Phoenix dan aku berhak menggunakannya saat dibutuhkan. Lagi pula, kenapa kau peduli?"
"Aku tidak mau melihatmu sukses. Itu saja." Wajah Taeyong kembali hampa. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap pria ambisius di depannya. "Jaehyun, kita bisa hidup berdampingan — kita semua, termasuk teman-teman menyebalkanmu itu dengan rukun." Si rambut merah menyebutkan kata terakhir itu dengan nada malu-malu, dengan sengaja memancing amarah si penembak jitu. "Aku terus merasa kau mempermainkanku, kau tahu itu? Kita berhubungan seks lalu kau pergi. Kita berhubungan lagi dan kau meninggalkanku lagi. Dan kau bicara seolah-olah aku memaksamu melakukannya? Padahal kau juga ingin. Sekarang, intinya adalah kau membuatku merasa bahwa akhirnya ada orang yang benar-benar tertarik padaku. Aku tidak peduli bagaimana kau menangkap kata-kataku ini. Tapi, aku berpikir seperti akhirnya seseorang melihatku dengan cara yang berbeda dari teman-temanmu itu."
Topeng Stella Silver White jatuh di lantai dan Taeyong mengurangi jarak di antaranya dan Jaehyun, berhenti beberapa inci dari pria yang lebih muda. "Aku sudah bilang kau adalah teman pertamaku. Tapi kau membuangku seperti sampah, Jaehyun. Itu jahat sekali. Aku bahkan tidak bisa memahaminya."
Ia menyelipkan kedua tangannya ke dalam kantong dan beberapa umpatan keluar dari bibirnya. Bibirnya kemudian bergetar, dan tangannya pun turut bergetar seiring hasrat untuk menyakiti menjalari aliran darahnya. Menumpukan bebannya di kaki, Taeyong bicara. "Aku tidak mampu membangun hubungan apapun, oke? Aku benci semuanya, benci semua orang. Tapi aku cukup menyukaimu untuk menganggap kau sebagai teman, dan itu berarti aku tidak akan pernah membunuhmu. Bodoh sekali aku sudah berpikir bahwa orang normal sepertimu mau berteman dengan pembunuh gila sepertiku. Persetan, Jaehyun."
Kata-kata itu mungkin meluncur bagai anggur hambar bagi Taeyong, namun kata-kata tersebut menghujam jantung Jaehyun layaknya mata panah berduri dengan racun mematikan. Tiba-tiba, seluruh kebencian yang ia rasakan pada Taeyong lenyap begitu saja dan digantikan oleh perasaan sedih. Sedih karena sudah bertemu di waktu yang salah, sedih karena mereka hidup di dunia yang salah. Jaehyun tidak akan berbohong; ia pernah mencoba membayangkan dirinya berteman dengan Taeyong seperti ia berteman dengan anggota tim lainnya, kalau saja si rambut merah itu bisa membawa dirinya dengan baik.
Tetapi beberapa hal memang tak seharusnya terjadi. Dan meskipun ia ingin berteman dengan Taeyong, lebih baik ia tidak melakukan itu sama sekali.
Jaehyun berpikir lebih baik ia tidak melakukannya sama sekali.
"Taeyong."
Jaehyun memanggilnya. Taeyong tidak bisa mendengarnya di balik suara iblisnya sendiri. Si penembak jitu melihat bagaimana tangannya bergetar hebat dan ia segera tahu apa yang sedang terjadi pada Taeyong. Mereka ada di wilayah kekuasaan Garnet. Ia tidak boleh membiarkan Taeyong berbuat onar. Ada banyak orang penting di gedung ini, dan jika Taeyong menghilang untuk membunuh seseorang lagi, Jaehyun tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Tapi kini, ia tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...