Lee Taeyong duduk di dalam sebuah ruangan, mirip sel penjara namun tidak ada jendela untuk melihat dunia luar. Suara samar-samar milik Kingpin Venandi mencapai telinganya, tapi ia tidak bisa menangkap kata-katanya. Pergelangan tangannya diikat di bagian depan dan mantelnya disampirkan di bahunya. Pria yang membawanya masuk ke sini sudah pergi, berkata ia harus menjemput pembelinya untuk proses akhir.
Pintu terbuka dan Risa datang seraya tersenyum. Ia tidak bergerak sedikit pun, melihat wanita itu dengan tatapan kosong.
"Bagaimana rasanya diam di sini?"
Sunyi.
"Apa mereka memperlakukanmu dengan baik? Kusuruh mereka untuk tidak menyentuhmu sama sekali karena nanti hargamu akan turun apabila ada cacat." Risa berjalan mendekat dan memeriksa bahunya, terlihat puas karena lukanya dirawat dengan baik. "Sungguh perhatian, bukan?"
"Beritahu aku alasannya."
Wanita Jepang itu berjalan mundur beberapa langkah. "Taeyong, aku sangat menyukaimu. Ingat masa-masa di mana aku sangat ingin tidur denganmu? Aku tidak berpura-pura! Aku sangat menginginkannya! Lagi pula, Taeil bilang akan mudah untuk menyerangmu saat kau sedang lengah. Tapi itu sulit bagiku, kau tidak seperti yang lain." Jarinya meraba sepanjang rahang Taeyong, berhenti di bibir bawahnya. "Mungkin kalau kau orang lain, kau bisa tunduk padaku dalam hitungan detik. Tapi kau, Taeyong. Kau tidak pernah tergoda dengan rayuanku. Itu menyakitkan sekali."
"Jadi ini pembalasan dendammu?"
"Mungkin? Tapi aku tidak bisa hidup tanpa organisasi. Di mana aku bisa mendapatkan uang untuk hidup? Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Aku harus bertahan hidup. Aku percaya kalau kau ada di posisiku, kau akan melakukan hal yang sama. Aku dapat 50% dari hargamu." Tubuhnya dicondongkan ke depan, tergelak dan terlihat sangat senang sebelum mengecup bibirnya. Taeyong tidak melawan kali ini, maka ia memanfaatkan momen itu sebelum menarik dirinya. "Kudengar Taeil sudah mati. Bagus sekali. Terima kasih. Dendamku padanya atas pengkhianatan itu sudah terbayarkan. Ah!" Risa mengingat sesuatu, jarinya ditekan di bibir. "Beberapa orang datang ke apartemen. Itu perbuatanmu, bukan? Kau berhasil membawa Jaejoong ke Garnet. Dan kau meninggalkanku sendiri. Itu menyakitkan, Taeyong. Dan meskipun aku sangat menyukaimu, kurasa kau pantas mendapatkan ini."
Ia tersenyum lebih lebar, berjalan ke meja kecil yang menyatu dengan dinding di sebelah kanan Taeyong. Saat itu ia baru menyadari bahwa Risa membawa tas. Risa membukanya, memeriksanya dalam sekejap.
"Ini barang-barangmu. Kurasa setidaknya aku harus memberimu pakaian mahal milikmu ini. Ada apa lagi di sini..."
Taeyong menatap punggungnya, memutar pergelangan tangannya. Tali terlepas setelah beberapa kali percobaan, menggesek kulitnya hingga berwarna kemerahan, dan bahkan berdarah. Ketika tangannya tidak terikat lagi, ia menarik celananya dan mengambil salah satu pisau yang masih berada di sana.
Ada banyak alasan mengapa Venandi masih di tempat, tidak pernah berkembang. Mereka terlalu percaya diri.
"Permenmu, rokok, dan apa ini...?" Ia cemberut, menyentuh sesuatu yang dingin di dalam tas. Sebuah pisau adalah yang ia temukan di sana.
"Tae—"
"Jalang." Taeyong menarik kepalanya ke belakang, menghujam pisaunya ke dalam mulutnya yang terbuka, merobek hingga ke dasar lehernya. Darah muncrat ke segala arah, menyembur wajah tampannya sebelum ia menarik kembali pisau itu, membiarkan tubuh wanita itu terjatuh menyedihkan di lantai.
"Kau membuatku sakit kepala selama ini. Akhirnya, Jalang."
Taeyong memakai mantelnya dan mengambil beberapa pisau dari dalam tas, menginjak mayat tersebut sebelum berjalan ke arah pintu.
Namun sebelum ia sempat menjangkaunya, sebuah bom meledak, diikuti dua buah bom lagi.
Kegaduhan terjadi di luar sana. Sang pelempar pisau mengintip dari balik pintu, melihat klien-klien berhamburan keluar dari gedung. Beberapa sudah mengajak pria dan wanita yang mereka beli, hendak kabur dari situasi ricuh ini.
Sepertinya Venandi menyinggung seseorang. Taeyong tersenyum miring memikirkannya. Ini akan membuat pelarian dirinya lebih mudah.
Si rambut karamel mengikuti arah orang-orang tersebut berlari, namun dihentikan oleh seorang pria penuh keriput yang menarik bahunya yang masih cedera. Taeyong menggeram dibuatnya.
"Aku sudah membelimu! Ikut denganku!"
Matanya menggelap. Taeyong mendorong pria itu minggir, hendak kabur tetapi dihentikan sekali lagi oleh sebuah tangan yang memegang bahunya yang terluka, dan Taeyong memutar tubuhnya lalu melempar pisau ke arah dahinya — tepat di antara matanya.
Sebelum ia mampu bergerak, anggota-anggota Venandi menghalangi jalannya. Kai berdiri membawa pistol dan ketika Taeyong menengok dari balik pria-pria itu, ia melihat Kingpin Venandi yang berbaring di lantai, abu-abu dan tak bernyawa, tergeletak dengan genangan darahnya sendiri.
"Kabur, Pretty boy?"
"Ya."
"Oh? Ke mana?" Kai mengokang pistolnya, mengarahkannya ke Taeyong.
Sang pelempar pisau mengangkat kedua tangannya sembari bertingkah menyerah sebelum membiarkan pria-pria itu mendekatinya.
Matanya terpaku pada sang penembak dari Venandi.
"Dans ta tombe (Ke kuburanmu)."
Sebuah tembakan bergema dan Kai terjatuh ke tanah lalu genangan darah berkumpul di kepalanya.
Taeyong menengadah, matanya bertemu Jung Jaehyun seraya penembak jitu tersebut menembaki anggota Venandi lainnya. Yuta muncul dari balik tubuhnya, melangkahi mayat Alessio.
"Ayo! Johnny sepertinya akan membuat bangunan ini menjadi debu!"
Sebuah ledakan lain membuat telinga mereka berdenging. Tanpa membuang waktu, Jaehyun menarik tangan Taeyong lalu berlari keluar dari teater, menerobos kerumunan. Orang-orang yang menonton sudah berkumpul di luar, dan sirine berdering di udara. Jaehyun menemukan mobil mereka dan mendorong Taeyong ke dalam.
"Sicheng!"
Jaehyun memanggil sang pembakar. Asap hitam nan tebal mengepul dari dalam teater dan mobil segera melaju dari tempat itu saat Winwin masuk ke dalam, dadanya naik-turun sambil terbatuk.
"Sialan, aku terbawa suasana. Ada banyak orang terjebak di dalam; kebanyakan adalah orang-orang Venandi." Pembakar itu terus terbatuk, bersandar pada Yuta.
"Apa ada yang terluka?" Ten membuka kotak perlengkapannya, mencari-cari.
Jaehyun melihat ke arah laki-laki di sebelahnya. Taeyong berkedut sangat keras, terengah-engah mencari oksigen. "Ten, dia hiperventilasi*." Telapaknya terjulur ke dahi Taeyong, Jaehyun terkejut akan rasa panas yang tidak wajar. "Dia demam."
Perawat itu menemukan kantong kertas dan memberinya pada Jaehyun. "Suruh dia bernapas dengan ini selama lima menit. Aku akan memeriksa suhu tubuhnya nanti."
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti suruhannya. Jaehyun duduk bersandar, menatap teater yang semakin hancur dilalap api seraya mereka berjalan menjauh dari amukan kekacauan tersebut.
*hiperventilasi: bernapas terlalu cepat dan abnormal, sehingga terjadi kekurangan karbon dioksida dalam darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...