Kelompok kecil itu sudah lengkap di lantai bawah ketika Taeyong keluar dari kamarnya. Semuanya tampak melakukan hal masing-masing. Melihat targetnya sedang mengetik di laptop, Taeyong berlari kecil dan duduk dengan tenang di sisi Jaehyun. Sepertinya sudah menjadi suatu kebiasaannya jika ia melihat ada kursi kosong di samping sang penembak jitu.
Kali ini, Jaehyun tidak bereaksi negatif. Ia bahkan tidak melirik Taeyong sekali pun dan Taeyong menahan dirinya untuk tidak melemparkan komentar sinis, mengingat apa yang terjadi semalam.
"Hei."
Jaehyun tidak menoleh. Ia masih fokus dengan apa pun yang ia tulis dan setelah melihat sekilas, Taeyong sadar itu surel untuk seorang klien.
"Hei."
Ia menyapa lagi, lebih keras. Johnny meliriknya dari tempatnya berdiri di dapur dengan sebuah apel di tangan sebelum pergi, bergabung dengan Ten di depan TV.
"Kalau kau tidak berhenti aku akan membanting laptop itu di kepalamu." Taeyong mengancam dengan nada monoton dan wajah datar, melihat Jaehyun sambil menggigiti kulit di jarinya. "Aku tidak bercanda."
Menutup laptopnya, Jaehyun akhirnya mau menatap matanya. "Apa lagi sekarang?"
"Jangan begitu. Aku tidak minta dilayani secara seksual. Aku tahu diri. Kurasa kau masih lelah akibat kegiatan kita yang sangat intim semalam." Dengan gayanya yang tidak tahu malu, Taeyong berkata tanpa peduli pada siapa pun yang mendengar. Ia berpura-pura tidak tahu anggota yang lain terkesiap dan ada yang napasnya tercekat seraya ia membuka kulkas, mengambil sebungkus permen sebelum kembali duduk. Memasukkan permen di mulutnya, Taeyong mengamati bagaimana yang lainnya menegang, berbeda dengan postur santai sebelumnya. Selain itu, pipi Jaehyun yang kemerahan lebih menarik dari apa pun yang ada di rumah itu.
"Kenapa. Kucing menyambar lidahmu? Kurasa aku tidak mirip kucing. Menurutmu aku apa, Jaehyun? Singa? Singa cocok denganku, 'kan?"
Si penembak mendengus. "Singa dikenal sebagai raja hutan. Kau adalah pembuat onar. Kurasa kau adalah ular."
Taeyong menunjukkan seolah dirinya tersinggung dengan menaruh tangan di dada namun tidak ada emosi di wajahnya. "Berani sekali kau meremehkan ular seperti itu? Dan dari seluruh hewan yang ada, ular? Apa itu karena lidahku yang bergerak bagai ular semalam?"
"Berhentilah membahas hal itu. Kau membuatnya seolah-olah aku menikmatinya. Halo, Taeyong, kau tidak seistimewa itu."
"Tapi aku memang istimewa, aku tahu itu. Omong-omong, ayo pergi."
Alis Jaehyun terangkat naik. "Kau bercanda, ya? Di luar turun salju."
"Lalu? Bukan badai salju. Hujan salju yang empuk tidak akan melukai wajah tampanmu. Ayo, pergi."
Taeyong melihat Jaehyun membuang napasnya. Nampaknya yang lebih muda sedang berusaha menahan kesabarannya yang hampir habis.
"Apa aku harus mengingatkanmu kalau kau bukan orang yang suka pergi ke luar?"
Taeyong memutar permen di pipinya. "Benar."
"Kau lebih suka di rumah."
Suara permen yang hancur dikunyah terdengar di telinga Jaehyun. Si pelempar pisau belum juga menghentikan kebiasaan buruknya; makan dengan suara yang keras.
"Kau pengamat yang baik, Jaehyun."
"Lalu kenapa," Rahang Jaehyun mengeras. "Kenapa kau ingin keluar?"
"Kalau aku bilang aku sedang ingin saja?" Yang lain mulai merasakan adanya ketegangan antara mereka berdua. Taeyong menahan niatnya untuk mengacungkan jari tengah ke arah Yuta yang menatapnya dari kejauhan.
"Kau tak pernah serius."
"Ah, itu menyakitkan. Kau terus menyakiti hatiku yang tak berperasaan ini." Taeyong menelan remahan permennya dan kembali mencari sebungkus lagi di dalam tasnya. "Contohnya?"
Jaehyun menyeringai. "Oh, kau mau contoh rupanya. Oke. Nampaknya si jenius mulai hilang ingatan. Kau membunuh Kim Jaeseok karena bagimu dia hanya sebuah permainan."
"Bajingan." Taeyong mengumpat sembari membelalakkan matanya. "Berhentilah mengungkit masalah lama. Apa kau tidak punya contoh lain? Kau akan membuatku bermimpi tentang suara jeritannya lagi. Aku tahu aku pernah bilang padamu kalau suara teriakannya itu terdengar sangat indah, tapi sudah tidak lagi sejak aku mimpi buruk."
Jaehyun menggelengkan kepalanya, memberikan laptopnya ke Doyoung.
"Ada lagi?"
Si penembak menghadap Taeyong lagi, wajahnya kaku. "Kau bilang kau seorang Kingpin tapi kau tidak pernah bekerja."
Si pelempar pisau mendengus, mengunyah permennya. "Siapa bilang aku tidak sedang melakukan sesuatu? Apa kalian mau percaya padaku untuk mengurus komunikasi bisnis?"
Winwin melintas, sebisa mungkin membuat dirinya tak terlihat dengan membungkukkan bahunya, namun sebuah lengan terjulur dan menghalangi jalannya sebelum matanya bersitatap dengan Taeyong. Si pria Prancis tidak berkata apa-apa lalu mengambil segenggam kentang goreng dari mangkuk yang dibawa si pria Cina dan membiarkannya lewat untuk mengambil sesuatu di kulkas.
Kenapa semuanya makan dan tidak bisa membiarkan mereka berdua saja di dapur untuk bicara? Jemari Taeyong mulai berkedut dan tangannya dengan cepat mengepal sebelum Jaehyun sempat melihat.
"Maksudmu kau ingin bilang padaku kalau kau sedang mengerjakan sesuatu. Lelucon bagus. Dan tidak; tidak ada yang percaya padamu."
Jaehyun mengira ucapannya dapat menyakiti Taeyong barang sedikit pun, tapi mendadak ia ingat bahwa lelaki di depannya adalah biang kerok dari masalah ini, ia tahu butuh sebuah gedung runtuh menimpa dirinya agar Taeyong bisa merasakan sakit.
Taeyong tersenyum miring. "Tepat sekali. Kau senang melakukannya — mendaki tangga dan memperluas jaringan seperti jiwamu yang ambisius."
"Kau masih ingin pergi atau kau mau menghinaku seharian?"
"Ayo, pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...