Part 4

1.3K 183 9
                                    

Ia sudah duduk di dapur ketika para anggota squad lainnya datang. Ten masih terlihat kesal sedangkan mata Johnny diliputi perasaan bersalah dan juga malu. Rambut Yuta mencuat sana-sini, matanya sayu. Winwin sayangnya duduk di satu-satunya kursi yang tersisa yakni di hadapan Jaehyun, jadi ia berusaha tidak menatap pria Cina itu, mengingat Winwin menyaksikannya masuk ke kamar Lee Taeyong. Jemari Doyoung mengetuk tanpa henti di atas meja, tak sabar.

"Apa ini percakapan yang sudah pernah kau peringatkan pada kami sebelumnya? Aku penasaran."

Jaehyun menggosok pipinya dengan tangan ketika tak sengaja bersitatap dengan Winwin. Ia tidak tahu mengapa Winwin terlihat malu. Apa ada sesuatu di wajahnya?

Memilih untuk menjawab Doyoung, Jaehyun membuang napas dan mencubit puncak hidungnya. "Ya. Seperti yang kalian tahu usaha kita belakangan ini sia-sia. Kita terus menjanjikan pengiriman barang sedangkan sebenarnya kita tidak punya apa-apa. Kita bisa saja kabur dari tanggung jawab ini dan bilang ke mereka kalau Red Phoenix sudah mati, tapi seperti yang kau bilang sebelumnya, tidak semudah itu. Kita akan diburu setiap hari. Klien tahu kita masih beroperasi karena kita masih mengirimi mereka surel. Meski mereka seharusnya sudah curiga mengapa seluruh pekerjaan tiba-tiba tersendat. Mereka pasti akan minta bertemu Kingpin dalam waktu dekat."

Yuta merengut, heran. "Maksudmu mereka akan bicara dengan Taeyong?"

"Dia bukan bos kita," geraman yang keluar dari Jaehyun mengejutkan mereka semua. Ada kebencian dan amarah di suaranya hingga mereka lupa bahwa Jaehyun agak terlalu akrab dengan subjek pembicaraan itu. "Dia tidak akan pernah menjadi bos. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan Lee Namgyu. Bahkan tidak ada di antara kita yang bisa meskipun kita waras. Lee Taeyong punya pikirannya sendiri dan dia tidak peduli dengan klien. Kalau dia pikir orang-orang itu akan memburu kita, dia tidak akan takut. Malah itu akan memacu adrenalinnya. Mungkin itu alasan mengapa dia tidak menggunakan komputer yang ada untuk menghubungi orang lain. Dia membiarkan orang-orang itu menunggu hingga tak sanggup lagi. Aku seharusnya..." Ia berhenti sejenak, enggan melanjutkan. "Seharusnya aku tidak merasa bersalah sudah meninggalkannya dengan Dragonaire waktu itu."

Tidak melakukan apa-apa adalah hal yang paling dibenci Jaehyun. Tinggal di Invictus sebagai kacung dari kacung meninggalkan kecap racun di lidahnya, maka dari itu ia mencucurkan darah, keringat dan air matanya hanya untuk bisa bergabung dengan Red Phoenix. Saat pertama ia masuk di organisasi kelas satu itu, ia sudah sangat siap akan segala tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ia siap menghadapi malam-malam tanpa tidur dan bahaya yang mengintai. Jika tanggung jawab organisasi yang hancur dilimpahkan pada anggota yang tersisa, maka wajar saja. Seberat apa pun itu, Jaehyun akan membuktikan nilai dirinya sebagai pemegang kartu Gold Red Phoenix yang masih hidup. Lagi pula, ia tidak lupa akan tantangan yang diberikan ayahnya saat ia memutuskan hengkang dari Invictus.

"Aku akan melepasmu. Kau hanya boleh kembali dengan sebuah nama yang dikenal di kancah lokal dan internasional. Kalau kau kembali tanpa prestasi, aku tidak akan menganggapmu putraku, tapi sebuah kegagalan."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kalian bilang Garnet tidak mau merespon. Mereka pemasok terbesar kita dan kita juga mendapat uang dari sana, tapi kita tidak bisa melakukannya tanpa berkontribusi apa pun. Apa mereka berpaling? Mereka belum tahu apa yang terjadi pada Red Phoenix." Ten menghembuskan napas, melempar tangannya di udara dengan pasrah. "Ini konyol."

Doyoung bersuara ketika ia merasa perdebatan dimulai. "Tidak ada alasan bagi mereka untuk memusuhi kita seperti ini secara tiba-tiba. Itu seperti kacang lupa kulitnya. Mereka juga memulai karir sebagai mafia Korea lokal. Pasti ada sesuatu di dalam organisasi mereka. Tapi kita juga tidak bisa hanya duduk dan bersantai."

"Jadi apa saranmu?" tanya Johnny.

Mereka hanya punya satu pilihan yang tersisa. Tak peduli seberapa menyedihkannya hal ini, terutama bagi Jaehyun, tiada jalan lain selain mencari bantuan. Invictus mungkin hanya subgrup dari Red Phoenix, makanya mereka dianggap kelas dua, tapi mereka punya cukup sokongan untuk rencana yang Jaehyun punya.

"Dengar," si penembak Gold memulai, dengan cepat melirik ke arah tangga. "Ini mungkin kedengarannya sulit, tapi kita harus mencobanya. Kita harus melupakan fakta bahwa kita anggota Red Phoenix."

"Apa?" Winwin berbicara untuk pertama kalinya, matanya terbelalak ke arah Jaehyun. "Kau mau kita berpisah dengan Red Phoenix?"

"Red Phoenix sudah mati, kita tidak bisa menyangkalnya. Kita tidak punya Lee Namgyu dan anggota lainnya yang terbiasa mengurus transaksi utama. Yang aku ingin tawarkan pada kalian adalah kita bergabung dengan Invictus, memikirkan siasat selanjutnya dan minta bantuan. Kita akan ke Prancis untuk bicara dengan Garnet. Sebisa mungkin tersambung dengan Garnet sebelum pergi ke pemasok lainnya. Kita tidak bisa ke sana dengan pesawat tanpa punya dokumen legal. Kita sindikat kriminal. Akan mudah jika kita warga negara Prancis, tapi kita bukan warga negaranya. Coba pikirkan. Membawa nama Red Phoenix tidak ada gunanya sekarang."

Hening mengisi ruangan sebelum Doyoung mengangguk, tidak merasa ada yang salah dari penawaran Jaehyun. "Jadi kita tidak punya rencana konkret kecuali bergabung dengan Invictus. Apakah ini akan mudah?"

Jaehyun menggelengkan kepalanya, tiba-tiba merasa ragu. "Tidak akan mudah. Masuk ke Invictus mudah, tapi menghubungi Garnet tidak ada dalam agendanya. Invictus adalah organisasi lokal. Aku akan meyakinkan ayahku untuk mengizinkan kita melakukannya."

"Sudah, 'kan? Kapan kita pergi ke Markas Besarnya?" penembak dari Jepang bertanya sambil menguap. Mata Jaehyun berputar.

"Ya, dasar tukang tidur. Sudah cukup untuk malam ini. Kita akan ke sana sesegera mungkin. Tapi aku punya satu permintaan."

Lima pasang mata yang penuh rasa khawatir memandanginya.

"Kalian tidak boleh membocorkan rencana ini pada Lee Taeyong. Dia tidak ikut dengan kita."

Jaehyun merasakan kombinasi setuju dan bingung di sekitarnya. Ini wajar. Tidak ada yang menyukai Lee Taeyong. Tidak juga dirinya.

"Dia tidak akan bisa membantu kita. Dia hanyalah beban. Kita akan meninggalkannya saat dia tidur."

Sepasang mata biru menatap dinding dengan hampa di puncak anak tangga. Taeyong dengan hati-hati bangkit, berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke kantong celananya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun ia kembali ke kamarnya yang gelap dan duduk di ranjang, mengatupkan giginya.

Sesuatu terlintas di balik tatapannya yang tajam, menyerupai perasaannya saat mengetahui ayah dan adik perempuannya dibunuh oleh Kim Taejun.

"Dasar orang-orang tolol."

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang