Jeritan-jeritan mengisi ruangan, lebih keras dari suara musik ketika ia membanting kepala wanita itu di pinggiran meja yang terbuat dari baja, berulang kali, memegang wajahnya dengan dua tangan seraya membuka kulit kepalanya yang tersibak. Darah menyembur, mencapai wajahnya yang bertakhtakan luka namun sangat tampan itu dan tetap membanting kepala di tangannya pada permukaan lantai beton. Petugas keamanan dipanggil, dan saat mereka mencoba memisahkannya dari mayat wanita yang beberapa menit lalu menciuminya itu, Taeyong mengamuk tanpa kendali.
Ia meninju dan mematahkan hidung karyawan klub itu, mengadu kepala dengan kepalanya sendiri. Ketika ia terhuyung, Taeyong pindah ke petugas satunya. Mereka bahkan tidak bisa melawannya, ia merebut sebotol bir dari pengunjung yang menonton kejadian tersebut kemudian menghantam pelipis petugas itu. Botol itu pecah, leher botolnya masih dalam genggaman dan ia gunakan untuk menusuk perut musuhnya 10 kali tanpa ampun sampai darah muncrat dari mulut pria malang itu.
Klub sangat ricuh. Orang-orang berlarian keluar, menghindari tatapannya yang haus darah. Taeyong melangkahi mayat wanita dan petugas kedua yang baru saja ia bunuh secara berdarah dingin, sepatunya menimbulkan suara becek saat ia menginjak genangan darah.
Ia mengambil pisau yang tergeletak di meja bar, menyelipkannya di sabuk. Ketika ia berputar, hendak kabur, seorang gadis gemetaran di sudut ruangan, mencoba menyembunyikan tubuh mungilnya sambil bicara berbisik di telepon.
"Menelepon polisi?"
Gadis itu semakin gemetaran mendengar suaranya. Hanya tersisa beberapa orang dan mereka sedang mengerumuni mayat-mayat di lantai. Mungkin teman si jalang tadi. Taeyong menghadap gadis itu lagi dan berjongkok di sebelahnya, tangannya maju dan menyelipkan rambut di belakang telinganya.
"Apa kau takut?" Taeyong tersenyum. Lebih dari menyeramkan dan membahayakan, namun ia hanya bisa terdiam, takut membuat pilihan yang salah. Lagi pula, penampakan pisau yang ada di tepi celananya seakan menantangnya untuk bertindak gegabah dan mencoba melawan.
Melawan. Itulah yang Taeyong ingin gadis itu lakukan. Ia ingin gadis itu melawan dan menunjukkan kalau ia tidak takut. Taeyong akan meyukainya. Sayangnya ia tidak akan membiarkannya hidup.
"Berikan padaku." Taeyong membalikkan telapaknya. Gadis itu tetap menggenggam ponselnya, ditekan di dadanya sembari menggeliat menjauh dengan pipi dialiri air mata.
Taeyong masih tersenyum. "Aku bilang — berikan padaku. Ayolah. Jangan malu-malu." Jarinya melengkung, mengisyaratkannya untuk mematuhi ucapannya.
Tapi ia adalah gadis keras kepala, ia menangis untuk memberitahu polisi apa yang si pembunuh lakukan padanya.
Taeyong mulai tidak sabar, ia mendekat dan merebut ponsel itu dari tangannya, mengabaikan teriakan penuh putus asanya seraya menarik keluar pisaunya dan menghujamnya di dada, tertawa sambil menatap mata yang memancarkan rasa takut itu, sampai cahaya menghilang dari sana.
Tidak puas dengan hasil karyanya, Taeyong menorehkan pisaunya turun di dada itu, membukanya. Pisaunya tersangkut di beberapa organ, kemudian robek dengan suara basah yang mengerikan hingga pisaunya mencapai area perut. Ketika semua darahnya sudah merembes, Taeyong berdiri, menaruh pisaunya kembali di ikat pinggang dan menjilat cairan kemerahan itu dari tangannya, berjalan ke pintu keluar.
Suara sirine menjangkau telinganya dan Taeyong menoleh mendapati sebuah mobil polisi yang sudah mendekati klub. Panik, si rambut merah merobek sebagian bajunya dan melilitkannya di setengah bawah wajahnya sebelum berlari, berusaha menghindari peluru yang menyerangnya.
Satu peluru mengenai bahunya. Taeyong mengerang, mengumpat sana-sini sambil mempercepat langkahnya.
"Brengsek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...