Part 14

931 151 1
                                    

Jaehyun berlari dan berlari, terus berlari hingga ia lupa sedang melarikan diri dari apa. Terowongan itu sangat gelap dan sangat panjang, rasanya ia sudah berlari berjam-jam namun tak peduli secepat apa pun kakinya dipaksa bergerak, terowongan itu bagai sebuah lingkaran yang tak berujung. Ia bahkan tidak tahu kenapa ia bisa ada di sana.

Paru-parunya seperti terbakar dan kakinya lelah, lengannya serasa akan lepas dari tubuhnya. Dengan jantung bertalu-talu ia ambruk, tangannya menyentuh beton yang basah itu.

Suara air yang menetes dari atap terowongan bergema di kegelapan, memantul di dinding mengisi telinga Jaehyun sebelum menelisik pikirannya. Suara itu berulang-ulang seperti kaset rusak di kepalanya, bernada tak teratur dan menjadi satu-satunya kawan di sana, ia masih berlutut mengatur napas.

Tiba-tiba, seberkas cahaya terbentuk di ujung sana. Jaehyun mengedip di antara cahaya menyilaukan yang semakin membesar, mendekat hingga ia tak punya pilihan lain selain duduk dan menutup matanya dengan tangan. Cahaya itu segera hilang, dan Jaehyun menyadari ada suara lain yang menemaninya. Suara mesin mobil yang dimatikan setelah ia menurunkan tangannya.

Sangat gelap hingga ia tidak bisa melihat siapa yang membuka dan menutup pintu mobil. Jaehyun berusaha bangkit, mengelap tangannya yang basah di celana.

Tunggu. Bukankah sedang turun salju? Benar juga. Salju tidak jatuh di terowongan ini.

"Siapa di sana? Tolong, bisakah kau membantuku keluar dari sini? Aku..." Jaehyun melihat sekelilingnya, mencoba melihat ke mana orang itu pergi. Ia mendengar langkah kaki mendekat. "Aku ingin keluar dari sini."

Ada keheningan yang janggal. Suara tetesan air itu berhenti. Jaehyun bahkan tidak sadar suara itu menghilang. Hembusan angin dingin mengisi terowongan tapi tanpa suara, menyelimuti Jaehyun hingga giginya bergemeletuk. Rasa dingin itu menggigit dagingnya dan melingkari tulangnya, menggantikan darahnya.

Ia merasa seperti mayat hidup.

"Tolong?" Orang itu meniru ucapannya dengan nada mengejek. "Aku selalu suka mendengar kau mengucapkan kata itu. Bagai lagu di telingaku — seperti yang kubilang padamu dulu."

Jaehyun mematung. Sebelum ia sempat mengenali suara familier itu, ia merasakan napas yang hangat di wajahnya.

Matanya membesar seiring berusaha beradaptasi dengan kegelapan yang ada ketika sebuah wajah muncul di hadapannya, dan mulut Jaehyun terbuka berteriak tanpa suara.

Itu Lee Taeyong — tapi pada saat yang sama, tidak terlihat sepertinya. Jaehyun tidak tahu bagaimana ia bisa melihat warna merah pada rambutnya di kegelapan; sudah panjang lagi, sebatas dadanya.

Tapi apa yang membuat jiwa Jaehyun melayang adalah tidak ada bola mata di dalam rongganya dan darah mengucur deras dari sana, mengalir hingga dagu Taeyong. Terjatuh di tanah, menyerupai suara tetesan air. Bagian bawah mulutnya robek, memperlihatkan daging yang menjuntai.

"Jaehyun."

"Tidak — tidak! Pergi dariku!"

Jadi ia berlari lagi, berlawanan arah kali ini. Ia berlari dan berlari, berkomat-kamit dalam hati dan berdoa pada segala macam dewa-dewi agar tidak melihat mayat Taeyong lagi. Ia bukan orang yang religius, tidak pernah percaya pada keberadaan mahakuasa tapi kini ia bersumpah akan membangun kuil untuk dewa yang bisa membantunya keluar dari terowongan ini.

Seraya ia memaksa kakinya untuk berlari makin cepat, Jaehyun merasa seberkas harapan tumbuh di dadanya ketika sebuah cahaya muncul di kejauhan. Berbeda dari cahaya sebelumnya; yang satu ini menuntunnya ke jalan keluar.

Lari, terus berlari.

Hampir sampai.

Aku hampir sampai

Jaehyun behenti dan napasnya tercekat ketika ia tiba-tiba membeku, seperti mesin yang mendadak dimatikan. Hanya tersisa beberapa langkah lagi tapi ia tidak bisa bergerak. Merasakan nyeri hebat di perutnya, Jaehyun melihat ke bawah, mendapati ujung pisau keluar dari kain pakaiannya sebelum ditarik dengan sadis dari belakang.

Suara lutut yang terkilir terdengar saat ia jatuh berlutut, sekujur tubuhnya melemas. Ketika sisi kepalanya menyentuh lantai yang dingin dan keras, Jaehyun menatap pria yang berjongkok di dekatnya — Taeyong tampak normal lagi, dengan mata dan bibir tipis yang tersenyum hangat. Luka-lukanya sudah sembuh dan warna rambutnya kembali karamel. Jari Jaehyun gatal ingin menyentuh rambut halus itu.

"Kenapa kau terus saja lari dariku, Jaehyun? Apa aku menakutkan? Apa kau takut padaku?" tanya Taeyong jail sambil mengelus rambut Jaehyun. "Kenapa kau takut padaku, Jaehyun?"

"Aku tidak..." Jaehyun bicara dengan mulut penuh buih darah. "Aku tidak takut padamu..."

Ekspresi lembut di wajah Taeyong lenyap dan digantikan dengan cemberut. "Pembohong. Kalian semua adalah pembohong keparat. Kau lebih buruk dari ayahku, Jaehyun. Dia membuangku sekali, tapi kau sudah melakukannya dua kali. Kenapa kau jahat sekali padaku?" Kepalanya ditarik dengan kasar, lehernya tertekuk dalam sudut janggal. "Aku tidak akan membiarkanmu menang, Jaehyun. Akan kubuat kau bangun setiap hari merasa takut seolah aku mengamatimu dari jauh dan kau tidak akan bisa mengetahui posisiku, tapi kau akan selalu merasa aku ada bersamamu. Oke? Sudah jelas?"

Taeyong berdiri dan sebelum Jaehyun sempat bicara, sepatu bot menginjak kepalanya berulang-ulang, menghancurkan tengkoraknya.

Jaehyun terbangun dengan suara terkesiap yang keras, keringat dingin mengaliri wajahnya. Ia mengelap bulir-bulir keringatnya dan tergesa-gesa menyalakan lampu. Mata lebar nan panik memandangi seisi kamar kecilnya sebelum berteriak putus asa, menjambak rambutnya sendiri.

"Lee Taeyong..."

Nama itu meninggalkan rasa pahit di mulutnya dan Jaehyun meludah di lantai, berusaha menghilangkan rasa itu. Ajaib betapa besar dampak si rambut merah terhadap dirinya walau ia baru menghabiskan waktu sebentar dengan pelempar pisau gila itu.

Seiring napasnya melambat, Jaehyun memutar ulang adegan di mimpinya dan merasa jantungnya berdetak keras. Terasa sungguh nyata. Dan seberapapun ia ingin menyangkalnya, Jaehyun untuk pertama kali dalam hidupnya merasa takut.

Apa ini yang Lee Taeyong inginkan? Menghancurkannya dari luar dan dalam?

Jaehyun menghembuskan napas. Lee Taeyong seorang diri tanpa siapa pun yang bisa memberinya petunjuk tentang lokasi Jaehyun. Jaehyun menuju puncak segitiga sedang si rambut merah akan tetap berada di tempatnya: di dasar segitiga.

Ia tidak sabar ingin meninggalkan Korea. Ia tidak sabar bertemu Garnet. Jika ia sudah berhasil mengusasai kekuatan Red Phoenix yang tersisa, ia akan menang.

Haus kekuasaan? Dia benar. Lee Taeyong benar. Hanya ini jalan untuk bertahan hidup. Jung Jaehyun akan bertahan dan ia tidak akan menunjukkan belas kasih pada orang-orang macam Taeyong. Berbelas kasihan berarti bersikap manusiawi.

Dan Jaehyun akan membuktikan pada Taeyong bahwa ia bukan manusia. Tidak lagi.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang