Part 34

782 130 4
                                    

"Apa kau yakin tidak mau ke rumah sakit?" Ten menutup kotak perlengkapan medisnya dan mendorongnya masuk ke bawah kasur Jaehyun. Perawat itu baru selesai membersihkan luka di kepala Jaehyun; untungnya tidak terlalu parah, hanya kehilangan banyak darah sehingga kulitnya akan terlihat pucat satu hingga dua hari pertama pasca trauma.

Tim mereka sangat kacau malam itu. Doyoung panik, ini adalah kejadian yang langka terjadi sejak kabur dari Dragonaire. Mereka berasumsi Jaehyunlah yang mengirimkan pesan sebelum pingsan — sang penembak jitu tidak meralat asumsi tersebut.

Jaehyun memberikan tatapan terima kasih, tersenyum kecil seraya meraba perban di kepalanya. Ten harus mencukur sedikit bagian rambutnya untuk bisa menjahit lukanya. Tidak terasa sakit, tapi juga tetap membuatnya meremas bantal. Masa-masa ketika ia harus dikirim ke klinik saat latihan, hanya disebabkan oleh goresan di sana-sini — latihan berkelahi bukanlah sesuatu yang ia sukai. "Ya, Ten. Aku baik-baik saja. Hanya tergores dan kau tahu itu."

"Itu bukan hanya goresan dan kau tahu itu." Perawat mungil itu mengomelinya bagai orang tua dan Jaehyun harus menahan rasa gelinya agar ia tidak marah. Pertama dan terakhir kalinya ia melihat Ten marah sangatlah menyeramkan.

"Aku percaya padamu."

Rasa lega terpancar dari perawat tersebut. "Terima kasih, Jaehyun, tapi kami tidak punya perlengkapan yang memadai di sini dan kau harus diperiksa dengan benar. Kau bisa saja mengalami gegar otak. Aku tahu ini menyebalkan karena aku sudah memohon padamu dua—"

"Tiga."

"—tiga hari belakangan tapi apa kau yakin kau tidak merasa berat di kepalamu? Rasa sakit?"

"Aku tidak merasakannya, aku yakin."

"Oke. Pusing?"

Jaehyun melipat bibirnya kuat-kuat untuk menahannya agar tidak tersenyum. "Aku baik-baik saja."

Ten mencatat, terlihat serius ketika melakukan pekerjaannya. "Hilang kesadaran sementara, muntah?"

"Ten..."

Ia menatap Jaehyun tajam. "Diam, Jaehyun, biarkan aku melakukan pekerjaanku. Apa kau merasa bingung atau seperti dikerubungi kabut?"

Jaehyun terlihat heran, yang mana membuat lubang hidung Ten membesar. "Jangan lihat aku seperti itu. Aku serius."

Baiklah. Ten sangat serius kali ini. Jaehyun menggeleng, merajuk. "Tidakkkk..."

"Sekarang kau bertingkah seperti anak kecil. Ini yang terakhir. Apa kau ingat apa yang terjadi malam itu?"

Jaehyun melihatnya selama beberapa detik sebelum mata sehitam arangnya melihat ranjangnya. "Kuharap aku bisa melupakannya."

Keheningan menghampiri mereka sebelum suara Ten yang menaruh pulpen dan kertasnya mencapai Jaehyun, terlihat enggan menenangkannya. "Maaf, Jaehyun. Seharusnya kau tidak pergi ke sana."

"Aku ingin mencoba. Kita tidak perlu berkecil hati, Ten. Ditambah lagi... percakapan dengan Taeyong itu, kurasa aku membutuhkannya."

"Kenapa?"

"Aku," Jaehyun menghela napas, menggosok dahinya. "Aku merasa bersalah. Aku tahu dia gila. Tapi dia tidak pantas kuperlakukan seperti itu. Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendirian."

Ten menyambar tangannya, meremasnya dan mata Jaehyun bertemu dengannya. "Jaehyun, kau sedang dimanipulasi olehnya."

"Begitukah?"

"Ya!" Ten berseru, merasa khawatir. "Jangan lupa kalau ini semua salahnya."

Benar. Ten benar. Semua ini masih salah Lee Taeyong dan Jaehyun benci dirinya yang merasa goyah untuk sesaat. Fokus, Jaehyun. Fokus.

Tawa pelan keluar dari mulutnya, dan Jaehyun menarik tangannya dari genggaman Ten. "Waktu kami bicara, aku sudah siap untuk memaafkannya, kau tahu."

"Mudah sekali..."

"Aku tahu. Tapi dia berbohong padaku." Kegetiran, bersama dengan kesedihan kembali dan ia merengkuh perasaan itu lagi.

Ten mengangguk dan beranjak dari tempat tidur menuju pintu. Ia berhenti dengan tangan menggenggam kenop pintu untuk melihat temannya itu. "Begitulah adanya, Jaehyun. Jangan pikirkan dia lagi, oke? Dia hanya membawa masalah."

"Aku tahu. Aku tahu betul."

Perawat itu merasa atmosfer ruangan menjadi lebih ringan. "Idiot. Ayo, Doyoung bilang dia dapat informasi tentang pelelangan Selasa depan."

Tidak ada sesuatu untuk dikerjakan, Jaehyun meninggalkan ruangan bersama Ten dan bergabung dengan anggota lainnya di ruang-tamu-yang-diubah-menjadi-kantor-kecil yang dulunya tidak mereka gunakan sesuai fungsinya.

"Ada apa?" Jaehyun duduk di bagian penyangga tangan yang sofanya sudah diduduki Yuta, Sicheng, dan Johnny.

Doyoung menoleh ke arahnya, mengalihkan pandangan dari laptop di meja, kacamatanya diletakkan di atas kepalanya. "Aku sudah mencari tahu kelompok yang kau sebutkan waktu itu, yang melakukan lelang tiap bulannya. Mereka akan mengadakan lelang Selasa depan pukul 9 malam. Seluruh kelompok yang tertarik dipersilakan datang."

"Oh, ya. Tentang itu, aku sudah bilang kalau ayahku tertarik untuk membeli orang, kalau kita harus mencoba merambah perdagangan manusia."

"Apa dia bilang sesuatu tentang Garnet?" Yuta bertanya dengan hati-hati, tidak mau membuat suasana menjadi negatif.

Mendengar pertanyaan itu, Jaehyun menghembuskan napasnya lelah. "Tidak, tapi dia mengeluh misi ini sudah berjalan terlalu lama. Kalau kita berhasil membeli banyak orang, kita akan langsung terbang ke Korea untuk berbisnis dengan klien baru. Ayah sudah mengurusnya."

Winwin tersenyum, matanya berbinar. "Itu kabar baik, bukan? Maksudku, kalau misalnya kita kembali dengan tangan kosong, setidaknya perjalanan ini berbuah sesuatu."

"Dia benar." Bibir Johnny mengerucut, dengan perlahan memainkan jam di pergelangan tangannya. "Kita bisa dipenggal kalau tidak membawa apa-apa."

Mata Jaehyun berputar dengan dramatis mendengar ujaran konyol itu. "Diam, itu tidak akan terjadi."

"Tapi kalau ayahmu marah, itu tidaklah indah untuk dipandang mata."

"... Benar. Doyoung, apa nama organisasinya? Kartu nama mereka ada di kamarku."

Doyoung memicingkan matanya melihat layar laptop. "Venandi."

"Baiklah. Daftarkan kehadiran kita."

Mereka menatap Jaehyun. "Kita?"

"Ya, kita semua akan pergi. Ketika Ayah menyerahkan Invictus padaku, penasihatku harus tahu semua yang kukerjakan, bukan?"

Senyuman terpatri di wajah teman-temannya. Jaehyun bersyukur; setidaknya mereka mau menemaninya di saat senang dan susah.

Ten melihat bahu pemimpin mereka yang merosot dan melirik seorang wanita yang berdiam di dapur. "Léonie? Bisakah kau membuatkan sup? Seseorang sedang keras kepala bertingkah seperti ia baik-baik saja."

"Baik..."

Mata mereka bertemu dan Jaehyun dengan cepat mengalihkan pandangannya. Sepasang mata biru terang itu membuatnya merasa sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia melihatnya.

Ia tidak tahu di mana Lee Taeyong berada. Si rambut karamel pasti sudah kabur entah ke mana setelah mengirimkan pesan pada Doyoung saat itu. Paris adalah surga yang luas; ular itu akan menemukan sarangnya dengan mudah.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang