"Kenapa kau masih di sini,"
"Pergilah ke Garnet dan akui semuanya."
Taeyong bisa saja dengan mudah memberitahunya tentang Moon Taeil. Tapi kenapa ia harus menyuapi informasi itu untuk Jaehyun? Ia mengungkap itu semua sendirian. Setidaknya Jaehyun harus mencari tahu kenyataannya sendiri setelah kegagalan tersebut.
"Mengaku? Religius sekali. Apa yang salah di sini?" Taeyong mengetuk pelipisnya. "Otakmu, ya, otakmu yang salah. Baiklah," Bahunya merosot karena lelah dan lukanya terasa perih. "Misalnya aku melakukannya, apa kau pikir Garnet tidak bersalah di sini? Ini semua adalah bisnis. Kalau aku dan Garnet bekerja sama — yang mana aku tidak punya energi untuk melakukannya — apa kau pikir Garnet akan iba padamu dan mengembalikan proposalnya? Tidak. Walau aku menembak mulutku," Ia menarik pistolnya dan menekannya di bibir bawahnya, merasakan moncongnya. "Di depan Fort, ia tidak akan memilih Invictus dibanding Casanov. Meski kau memohon padanya, di sana," Ia mengarahkan pistolnya ke gedung Markas Besar. "Pergilah ke Fort. Kau ke sana untuk memohon padanya, 'kan? Menyedihkan. Dengarkan saranku, kembalilah ke negaramu dan selesaikan urusanmu sendiri."
Taeyong memasukkan kembali pistolnya dan berjalan melewati Jaehyun.
"Tarik kembali ucapanmu."
Ia memutar tubuhnya, cemberut. "Aku bi—"
"Tarik kembali ucapanmu." Jaehyun mencarinya, berhenti beberapa inci dari tubuh sang pelempar pisau. Rahangnya mengeras akibat amarah yang mendidih di dalam tubuhnya.
"Yang mana? Ini sudah malam dan aku tidak punya banyak waktu untuk mengingat kata per kata yang sudah kuucapkan."
Mereka saling bersitatap, tidak ada yang mengalah dan Jaehyun berperang dalam batinnya apakah ia harus menjawabnya atau tidak — kata yang Taeyong ucapkan tadi berdering di kepalanya, membuatnya merasa kecil, seperti serangga yang bisa mati dengan mudahnya bila diinjak.
"Menyedihkan."
Mata Taeyong berkilat nakal. "Ohoho, apakah aku menyakiti egomu?"
Taeyong terhuyung setelah sebuah tinju dilayangkan Jaehyun. "Berengsek!" Mulutnya berdenyut-denyut sakit seraya ia menjilati darah yang keluar dari luka robek di bibirnya. Ia mendesis dan melompat ke arah Jaehyun, menghindari tendangan putarnya, dan memukul sisi kepala Jaehyun yang membuatnya terpincang ke samping. Melihat kesempatan itu, si rambut karamel kembali menendang ketika Jaehyun menangkis dengan kedua lengannya. Dengan refleks yang cepat, yang lebih muda menangkap pergelangan kaki Taeyong dan menariknya keras, meringis ketika si pelempar pisau terjatuh di tanah sambil menggeram kesakitan. Pistol meluncur jatuh akibatnya.
Jaehyun dengan cepat membalikkan tubuh Taeyong menjadi tengkurap saat ia melihat yang lebih tua akan memukul wajahnya, ia menahan lengan itu di punggungnya.
"Sialan! Itu sakit sekali!"
Ia hendak berpura-pura tuli akan teriakannya ketika Jaehyun menyadari ada bercak basah di mantel Taeyong. Ia menekan sebuah jari di atasnya dan mengusapnya, matanya membesar saat ia sadar apa yang terjadi. Beban tubuh Jaehyun terangkat dari tubuh Taeyong dengan segera, sang penembak jitu mulai khawatir, ia mengangkat Taeyong untuk berdiri, dengan panik mencari-cari luka lainnya, seolah-olah ia tidak berniat membuatnya babak belur. Seluruh rasa benci menguap dari dirinya akan fakta bahwa ia baru saja menyakiti Taeyong.
"Sialan. Taeyong, kenapa kau berda—"
Taeyong tertatih, memegang bahunya. "Pergi dariku, Jaehyun. Dengar, aku tidak mau membunuhmu. Kau sudah gagal dan itu sama dengan kau sudah mati bagiku."
Beban dari kata-kata itu menimpa Jaehyun bagaikan ratusan ton puing-puing beton. Untuk beberapa alasan, istilah pertemanan terlintas di otaknya saat ia melihat bahu Taeyong yang berdarah. Mereka bukanlah teman — ia tidak pernah membalas ketertarikannya pada pria gila di depannya itu. Tapi segila apa pun itu, ia merasa sakit, dadanya terasa hampa bagaikan jantungnya dikeluarkan dari tempatnya.
Ini salahnya membiarkan hal ini di luar kendali. Ia meninggalkan Taeyong sendirian padahal ia sangat butuh pengawasan. Ia mengucilkan Taeyong karena ia pikir tidak ada gunanya apabila pria gila itu ada di dekatnya. Ia membiarkan Taeyong menjelajahi dunia luar tanpa mengetahui bahaya yang mengintai. Dan sekarang mereka kembali ke titik nol, seperti hari pertama di Red Phoenix di mana si rambut karamel membenci semua orang. Jaehyun seharusnya tidak peduli.
Tapi kenapa rasanya sangat menyakitkan?
Suaranya parau saat ia menanyakan sesuatu yang sudah ia tahu jawabannya. "Kenapa kita jadi begini, Taeyong?"
"Kenapa?" Taeyong menarik kerah baju Jaehyun mendekat, hidung mereka hampir bersentuhan. "Kau berani bertanya begitu? Mungkin seharusnya kau tidak membuangku dan pergi bertingkah seperti seorang raja." Dengan energi yang tersisa ia mendorong Jaehyun, ingin pergi dari sana secepatnya.
Jaehyun melihat ke bawah dan melihat pistol milik Taeyong, ia memungutnya. "Tunggu—"
Mendengar suara pistol yang menggesek tanah, Taeyong menggeram dan berputar, menghentakkan sikunya di pelipis Jaehyun, mengira ia akan ditembak.
Pistol tersebut terlepas dari genggaman Jaehyun ketika kepalanya membentur dinding bata. Hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Taeyong yang dilapisi rasa horor, dan tubuhnya menyentuh tanah yang basah dan dingin.
Taeyong menatap sosok di hadapannya. Ia mematung, terpaku dalam perasaan kaget dan juga takut untuk pertama kali di hidupnya saat darah mengucuri sisi wajah Jaehyun. Ia tersadar dan lututnya terasa sakit waktu ia berlutut di samping Jaehyun dan memangku kepala yang lebih muda di pahanya. Darah mengotori tangannya dan rasa senang akan darah yang biasanya ia rasakan tidak muncul sama sekali. Aroma metalik yang memasuki indera penciumannya menggodanya untuk mencicipi cairan merah itu.
Namun sebaliknya, perutnya bergejolak dan Taeyong mual, mengeluarkan rasa asam yang mengais kerongkongannya.
"Ugh," Taeyong dengan cepat mengelap mulutnya, mengabaikan rasa perih yang muncul saat ia menggosok luka robek di bibirnya, lalu menampar pipi Jaehyun. "Jaehyun. Jaehyun! Hei!" Ia menggoyang-goyangkan tubuh Jaehyun dengan frustasi, Taeyong merasa matanya panas dan pandangannya kabur. Ia tidak tahu apakah itu air mata atau air hujan yang turun semakin deras, membuat mereka basah dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Hei, teman tidak meninggalkan temannya mati seperti ini, kau tahu." Taeyong tertawa, masih menampar pipi Jaehyun. Darah dicuci oleh hujan tapi masih mengucur dari luka di kepalanya. "Aku mendengar kata-kata itu di film..." Tubuhnya mulai bergerak maju mundur dan yang lebih muda masih diam bergeming. Untuk pertama kalinya di hidup Taeyong, ia tidak tahu harus berbuat apa, hanya membiarkan rasa takut merengkuhnya bagai ular. Suaranya bergema di lorong kosong nan gelap. "Hei, Keparat! Bangun! Jangan bercanda, oke. Ini semua salahmu, Jaehyun. Ini semua salahmu."
Taeyong menepuk saku Jaehyun dan mengeluarkan sebuah ponsel. Ia mengetik pesan dengan cepat, mengirimkannya pada salah satu anggota timnya dan menjatuhkannya ke genangan air. Jaehyun masih diam saja di pelukannya. "Heeeeei, Jaehyun. Apa yang kau lakukan di situasi seperti ini? Aku tidak bisa membawamu ke rumah sakit. Kelinci itu akan mencarimu di sini." Ia dengan lembut memindahkan kepala Jaehyun dari pahanya dan berdiri, mengelap darah dari mantelnya yang basah sebelum mengambil pistol dan menaruhnya di tempatnya kembali. "Diam di sini, oke. Jangan mati."
Taeyong berlari keluar dari gang itu dan kembali ke posisi awalnya, di sebelah motel. Ia memicingkan mata melalui tetesan hujan yang turun dan melihat Moon Taeil keluar dari Markas Besar dengan amarah terpancar jelas.
Sudah selesai. Fort mendepaknya keluar.
Ia tetap di tempatnya, bersatu dengan bayangan ketika Taeil membuka payung dan berjalan melewati gerbang, ke arah yang berbeda. Taeyong keluar dari persembunyiannya dan membuntutinya, menjaga agar jejak kakinya tidak terdengar, menyamai langkah Taeil.
Jalanan sudah kosong. Taeil berhenti di sebuah mobil dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kunci. Taeyong berlari ke arah sasarannya dan memukul belakang kepalanya telak hingga pingsan, menangkap tubuhnya dengan lengannya yang terluka seraya membuka pintu kursi pengemudi, membuka kunci pintu lainnya. Taeyong mendorong Moon Taeil di kursi belakang sebelum menjalankan mobil ke sebuah gedung usang yang ia sudah pilih untuk menjadi tempat eksekusi rencananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...