"FUCK! Keluarkan jarimu! Tuhan, Lee Taeyong ampuni aku! Lepaskan aku!"
"Kenapa aku mau melakukan itu?" Sang penyiksa akhirnya menarik jarinya keluar dan mengambil tang. "Kenapa aku harus melakukan itu jika aku bisa bermain denganmu?" Tangan yang kuat menggenggam rahang Taeil dan memaksanya terbuka sebelum Taeyong, tanpa peringatan, mulai mencabut gigi-gigi pria itu. "Kau bisa saja membunuhku dulu, kau tahu? Adil, bukan? Tapi salahnya adalah kau membawa Olivia pergi denganmu."
Gigi-gigi lainnya berjatuhan di lantai yang keras dan dingin seraya mulut Moon Taeil dipenuhi darah.
"Apa aku membunuh Jaeseok malah menguntungkanmu? Apa itu membuat rencanamu berjalan lebih mudah? Atau lebih sulit? Kau pikir kau bisa membunuhku, hm? Moon Taeil, kalau kau pikir setan hidup di neraka, lihatlah sekitarmu." Si pelempar pisau memotong tali yang melingkari torso pria itu dan merobek pakaiannya. "Oh, aku lupa kau tidak bisa melihat!"
"Hentikan... aku tidak tahan lagi..."
"Aku akan berhenti kalau aku merasa puas. Aku tidak pernah merasa puas, sayangnya." Tanpa ampun, Lee Taeyong mulai mengukir huruf-huruf di tubuh mainannya itu. Merobeknya dalam dengan darah yang terus mengucur.
Menggeliat sekuat tenaganya, Taeil berteriak sia-sia. Garasi itu terletak di tanah terbengkalai dan tidak akan ada orang yang datang untuk menyelamatkannya. "Sakit! Tolong hentikan, berhenti! Pergi dariku!"
"Sedikit lagi..." Taeyong memotong satu putingnya, membuat korbannya kembali menjerit. "Oke! Aku kagum dengan kemampuanmu menahan rasa sakit, Moon." Raut wajahnya terlihat sungguh bahagia. "Apa katamu? Katakan padaku!" Ia menarik dan menjambak dengan kasar seakan ingin mencabuti rambut itu. "Katakan padaku, Monster!"
Monster. Semua orang adalah monster, dan ia percaya ia adalah yang terburuk di antara mereka. Tapi pria yang sedang ia siksa dengan tangannya ini adalah pria yang membiarkan para monster lainnya memperkosa ibunya, menyiksa adik perempuannya hingga ia mengalah dan mati. Bahkan Lee Namgyu pantas mendapat sedikit ampun.
Moon Taeil mulai tidak bersuara, hanya berbisik lirih.
Amarah mendidih di sekujur tubuhnya dan matanya terbakar oleh api kemarahan. "C'est la guerre (Ini perang). Olivia tidak pantas mengalami semua itu. Sekarang kau memohonku untuk berhenti? Apa yang kau lakukan ketika dia memintamu untuk berhenti?" Taeyong mengangkat pria lemas itu berdiri, bagaikan boneka kain, lalu menempelkannya di dinding, memotong kawat di tangannya dan mengikat pergelangan tangannya di sisi kepala dengan tali yang sudah dipakai, menggantungnya di kaitan usang yang terpasang di dinding.
"Bunuh saja aku, Taeyong... Kau tidak akan mendapatkan proposal itu lagi. Aku sudah tidak berguna. Fort sudah memasukkan namaku di daftar hitamnya; kau tidak bisa membangun ulang Red Phoenix."
"Jadi dia tidak bilang apa-apa tentangku?"
Taeil menggeleng lemah. "Aku tahu pasti kau yang mengadu padanya. Untuk apa?" Pria itu mengangkat kepalanya. Lee Taeyong tahu Taeil ingin melihatnya kalau saja matanya tidak tertutup. "Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku. Bunuh saja aku."
Mendengus, Taeyong mengetuk pisaunya di tangannya yang sudah bersimbah darah. "Kau tidak punya hak mengatur caraku bekerja. Apa kau mengatur cara dokter bedah melakukan operasinya? Kau hanya seorang pasien." Tawa gila bergema di garasi usang itu. "Tuhan, kau mengingatkanku pada Jung Jaehyun. Apa kelinci itu sudah datang menjemputnya."
Taeyong berjalan kembali ke meja untuk menggunakan sabuk berisi pisaunya di dada. Ia mendengar Moon Taeil menarik ikatannya dan sesuatu bergelembung di dadanya, ia mengambil pisau yang sudah ia asah. "Diam." Sang pelempar pisau menunjukkan keahliannya bermain pisau seraya melemparkan salah satu pisaunya ke arah tangan Taeil, menusuk telapaknya agar terpaku di tembok, mencegahnya menggeliat.
Jeritan yang ia dapatkan membuatnya kenyang, ia akan bertahan tanpa merasa haus darah selama sebulan dengannya.
"Tolong, tolong, bunuh saja aku! Aku tidak tahan! Bunuh aku!" Air mata membasahi penutup matanya, menetesi wajah Taeil.
"Baiklah." Taeyong memungut mantelnya dan memakainya sambil mendekati mangsanya, terganggu dengan bau darah yang menyengat di kain mantel mahalnya. "Kau tahu apa lagi yang aku lakukan pada Tuan Kim dari Dragonaire?"
Pria malang itu mendesis 'tidak'.
"Ini yang kulakukan." Bagai tabung kosong yang dulunya manusia; tanpa jiwa, Taeyong membuat bagian belakang kepalanya mendekat sebelum menjalankan pisau tertajamnya di leher Taeil, wajahnya kosong ketika ia menyayat leher itu, mendengarkan suara retak dan becek dari otot yang robek, lalu kepala itu terlepas dari tubuhnya saat si rambut karamel menariknya dengan sadis. Lee Taeyong menggosok wajahnya, kini dihujani bercak merah kental.
"Aku bersumpah, kalian semua sama saja. Diam seperti orang bisu saat semuanya berakhir. Seperti kau mematikan musik latarku. Perusak suasana." Taeyong cemberut, mengayunkan kepala Taeil di bahunya yang sehat sebelum melempar senjatanya. Ia ingin merokok tetapi rokoknya basah terkena hujan. "Omong kosong."
Mata birunya memindai keseluruhan ruangan bersimbah darah itu kemudian mendekati mayat tak berkepala di dinding. "Kau tahu ini yang akan terjadi ketika kau memutuskan untuk menghancurkan hidup orang lain. Adil, bukan?"
Decak lidahnya bergaung di kesunyian akibat jeritan Moon Taeil yang tak lagi terdengar, Taeyong memutar balik jam pasirnya lagi dan berjalan keluar, mengangkat alisnya mendapati lapisan tipis salju di tanah. "Ah, kau turun salju lagi, Paris?"
Ia mencari mobilnya dan ketika ia hendak memasukkan kunci di pintunya, seseorang memegang lengannya dari belakang dan mencoba menariknya. Taeyong melempar kepala yang ia bawa ke arah penyerangnya, dengan sukses mengalihkan perhatiannya sebelum mengeluarkan pistolnya dan menembak. Ia nyaris menang namun penyerang lainnya muncul untuk memuntir lengan cederanya, mengakibatkan rasa sakit yang membuat si rambut karamel menjatuhkan senjata apinya. Benda itu terjatuh dengan suara dentum basah di atas salju, Taeyong memaksa dirinya menendang ke belakang. Para penyerang itu, menggunakan topeng balaclava* untuk menyembunyikan wajahnya, meloncat ke arahnya bersamaan, namun sang pelempar pisau menyeret tubuhnya di tanah, mengambil pistol dan membidik ke arah keduanya. Geraman mengisi udara sedingin es ketika mereka jatuh terluka, memegang bagian tubuh yang disarangi peluru.
"Sialan... apa mereka copet," Taeyong menghujani peluru lagi hingga habis untuk berjaga-jaga. Ia menaruh senjatanya kembali ke dalam tempatnya, kepala miring ke satu sisi melihat kepala Taeil yang tergelinding ke sembarang arah, meninggalkan jejak merah di salju.
"Aw, lihatlah dirimu. Sangat lu—"
Rasa sakit yang menusuk-nusuk di lehernya membuat ucapannya terputus. Sebelum Taeyong dapat memahami apa yang terjadi, pandangannya kabur dan ia jatuh pincang, wajahnya mengenai tanah.
"Sial. Kita harus mengorbankan dua orang untuk menangkapmu, ya. Kalau saja kau tidak berharga mahal..."
Kai membuka topengnya dan mengusak rambutnya dan mengangkat tubuh Taeyong di atas pundaknya, menaruhnya di dalam mobil SUV yang terparkir di sudut jalan. Karena dua kawannya sudah mati, ia berkendara sendirian, memeriksa orang yang ada di bangku belakang sesekali lewat kaca spion.
"Venandi akan mendapatkan jutaan karenamu, Lee Taeyong..."
*balaclava : semacam topeng yang menutupi seluruh wajah, dilubangi di mata, hidung, dan mulut, biasa dipakai oleh pencuri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...