Jena menyiapkan nasi, ia hidangkan pada Daniel yang sudah siap menyantap makan malam.
"Muji boleh, tapi dilarang nge-judge," peringat Jena.
Daniel tak menjawab, kesalnya masih kentara sejak melihat Jena yang sangat berisik ketika memasak—singkatnya heboh.
"Enak?"
Jena, yang katanya gak mau di-judge tapi tetap kepo bagaimana tanggapan Daniel perihal makanan yang ia sajikan dengan susah payah.
"Well, not bad."
Jena berdecak girang, merasa bangga dengan usahanya yang tidak sia sia.
"Kira kira Je udah cocok jadi chef belum?"
Perempuan itu berkacak pinggang dengan percaya diri. Sukses menghentikan kunyahan Daniel dan beralih menatapnya heran.
"Cocok."
Jena hampir bersorak riang sebelum Daniel kembali berucap;
"Cocok di-diskualifikasi."
Senyum lebar penuh percaya diri itu berubah masam, mata Jena menggerling sebal. Sialan sekali.
Ia berdecak lagi—sebagai ekspresi bahwa ia tengah merajuk. Tangannya menggebrak meja, sontak berdiri dan melenggang pergi dengan gaya.
Daniel berdecih, drama yang cukup menghibur.
Kebetulan drama itu belum selesai.
Enam detik setelah kepergian Jena, perempuan itu kembali lagi ke dapur dengan tergesa.
"Kenapa?" Daniel keheranan.
Jena menyengir, menampilkan deretan giginya yang rapi. Duduk kembali di atas kursi yang sempat ia tempati.
"GAK BERANI BUSET PAKE NANYA!" teriaknya dalam hati.
Daniel selesai dengan makanannya, bekasnya ia taruh di wastafel. Lalu kembali ke meja makan menemui Jena yang tengah melamun.
Laki laki itu tersenyum jahil, berjalan menggapai saklar lampu dan mematikannya dalam sekejap.
"OM!" Pekik Jena tersadar saat cahaya tiba tiba lenyap dan sekitarnya menggelap.
Jena memekik kencang, sangat kencang sampai Daniel menyadari bahwa perempuan itu benar benar takut berada di kegelapan.
Dengan cekatan ia raih tangan Jena yang tengah berusaha meraba raba mencari pegangan di sekitarnya.
"Om.. Je jangan ditinggal."
Daniel terdiam, merasakan getaran aneh saat genggaman Jena mengerat pada tangannya. Seperti orang yang merasa aman ketika mendapat perlindungan.
"Ini Om bukan sih?" Jena memastikan, namun tak kunjung mendapat jawaban.
"Om?"
"Halo?"
"Daniel..."
Jena mulai terisak, sukses menarik Daniel dari pikirannya yang berkecamuk tak jelas.
"Ssstt, im here."
Sekali lagi Daniel rasakan genggaman Jena yang sebelumnya sempat mengendur beberapa saat, kini kembali mengerat. Pada sekon selanjutnya, Daniel menuntun tangan Jena untuk melingkar pada lengannya.
"Pegang lengan saya, nanti jalan pelan pelan, kita ke kamar."
.
.
Pagi sekali, Jena sudah tampil dengan setelan kuliahnya untuk menghadiri kelas di jam 7.30 pagi.
Sempat terpikir untuk mengambil cuti, tapi akan lebih baik kalau ia menggunakan jatah absen saja untuk melangsungkan resepsi pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALJENA-[END]
Teen FictionAljena Claudia, seorang mahasiswi semester akhir yang tengah kelimpungan dalam menyusun skripsi. Beban hidupnya kian bertambah saat sang papa dengan kurang ajarnya menyuruh dia untuk segera menikah-yang katanya demi menyetujui kontrak kerja sama den...