#26.

16.3K 603 0
                                    

Pintu mobil ditutup dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang memekik di telinga. Daniel melirik heran, pada Jena yang raut wajahnya tak karuan. Moodnya berantakan tiap kali ia jemput sehabis pulang kerja, berakhir cemberut dan tidak bisa diajak bicara.

"Capek, ya?"

Perempuan itu mengangguk.

"Itu saya beli minuman," kata Daniel menunjuk dashboard mobil dengan tangannya, berharap itu dapat menaikkan mood Jena yang kacau balau.

Mobil melaju pelan, lima menit perjalanan masih belum ada reaksi dari Jena yang tengah asik menyeruput minuman dingin dengan rasa Buble Gum yang menjadi favoritnya.

"Kalau capek kerja, tiap pulang badmood, mending berhenti aja," kata Daniel dengan sangat hati hati, takut Jena tersinggung

"Je kerja belum ada satu bulan loh," balas Jena dengan kesalnya mendengus kasar, lalu mengalihkan pandangan melihat jalanan.

"Je—"

"Ngomong sekali lagi, Je turun di depan," potong Jena yang sukses membuat Daniel menginjak pedal rem, menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Kenapa? Cerita sama saya, ada apa?"

Jena menyugar anak rambutnya ke belakang. "Nggak ada apa apa, Je lagi gak mau debat."

Tubuh Daniel mendekat, mengulas senyum sambil mengusap rambut wanitanya pelan. "Ok then, jangan galak galak, nanti cepet tua."

"Apa sih!" Balas Jena mendorong Daniel agar menjauh, malas melihat senyum jahil yang laki laki itu tampilkan.

"Diminum lagi Ice nya."

Jena mengiyakan, kembali menyeruput minumannya khidmat. Sementara Daniel kembali melajukan mobilnya hingga berhenti di salah satu super market pinggir jalan.

"Mau beli apa?" Jena bertanya.

"Apa aja yang kamu mau, ayok."

"Hah?"

Jena belum selesai mencerna kala Daniel sudah lebih dulu keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam super market, ia menyusul, berlari kecil menghampiri suaminya yang kini berada di jajaran camilan.

Tanpa sadar, Jena ikut memilih dan mencomot satu dari banyaknya chiki disana, terus seperti itu sampai keranjang yang Daniel bawa penuh.

"Mau yupi.."

"Ambil."

"Yey!"

5 jenis yupi yang Jena ambil tidak sebanding dengan rasa lega dalam dada Daniel saat melihat perempuan itu tersenyum gembira karenanya.

Ia paham sekarang, rumitnya perempuan itu hanya mau dimengerti dengan cara sederhana. Dengan hal kecil yang kiranya mampu membuat bahagia. Mungkin tidak semua, tapi ia tau Jena salah satunya.

.

.

"Tolong re-schedule jadwal meeting, beberapa yang tidak terlalu penting dimajukan ke besok pagi, kalau untuk pertemuan dengan klien dan para petinggi tetap sesuai jadwal."

Setelah diiyakan oleh seseorang di seberang sana, Daniel lantas menutup telfon dan menyimpan ponselnya di atas meja. Bersandar pada sofa empuk yang ia duduki sekarang, merilekskan tubuh dengan teh hangat serta tayangan televisi yang menghibur.

Di sekon selanjutnya, Jena menghampiri. Ikut duduk di samping Daniel yang tengah menyeruput tehnya pelan.

"Sini," titah laki laki itu seraya menariknya agar terlentang dengan posisi kepala di atas paha.

Jena menuruti, ikut menyamankan posisinya di sana. Malam dingin menyelimuti, siapapun enggan berkeliaran di luar karena rintik hujan yang mengguyur kota. Terlentang dalam dekapan hangat seseorang mungkin pilihan yang tepat malam ini.

Tidak ada yang bersuara, hanya ada percakapan dari televisi dan gemericik hujan di luar sana. Daniel sesekali menunduk, untuk melihat Jena yang anteng menguyah camilan.

Setiap lekuk wajah perempuan itu ia perhatikan dengan seksama. Bagaimana indah kelopak matanya yang mengerjap bingung akibat mencerna alur film, helai rambut yang keluar dari gulungannya Daniel singkirkan pelan, namun mampu mengusik sang empu yang kini ikut mendongak membalas tatapannya.

"Jangan diliatin mulu, tau kok Je cantik," kata Jena  percaya diri.

Daniel mencibir. "Jelek gitu."

"Masa sih, gak percaya."

"Ambil kaca coba."

Jena berdecak sebal. "Fuck you."

"Love you," balas Daniel dengan santainya membuat semburat merah di pipi Jena.

"Ih najis gembel banget."

"Jena, language."

"Iya iya, maaf. Abisnya ngeselin!"

Keduanya kembali fokus pada tayangan televisi sampai Jena memberanikan diri untuk bertanya.

"Cewek yang kemarin di kantor itu siapa?" Tanya Jena takut takut kalau Daniel sensitif akan pertanyaan ini. 

Iris mata kedua insan itu bertemu, bertatapan lama. Seolah tersirat rasa di dalamnya.

"Dia klien saya." Jawab Daniel cepat.

Jena mengernyit. "Ada masalah apa sampe om kayak ngehindar gitu?" Tanyanya lagi.

"Gak ada masalah apa apa."

"Oh."

Jena merasa Daniel mungkin tidak mau membahas topik tersebut. Maka dari itu ia akhiri segera.

"Kemarin itu kamu pulang meeting sama Bryan?"

Raut Jena berubah sama. "Enggak, naik taksi, Je di tinggal."

Daniel sedikit terkejut akan hal itu, namun ia ingin tertawa akan gelagat Jena saat ini.

"Om sih, pake ngajak ke ngobrol segala, di tinggal kan jadinya."

"Saya turut prihatin aja." Ujar Daniel menahan tawa.

Jena menggeplak keras pundak laki laki itu. "Ngeselin emang."

"Ya mau gimana lagi? Udah kejadian juga."

"Ya— ya kenapa juga malah bahas pak Bryan. Udah deh, Je lagi kesel sama om om satu itu. Nyebelinnya gak beda jauh kayak suami sendiri."

Daniel mengernyit, barusan ia disamakan dengan si Bryan Fucking Carlos.

"Kamu salah, saya sama dia itu beda jauh," katanya Daniel tak terima di sama samakan dengan orang lain.

"Bagai langit dan bumi?"

Daniel bergumam.

"Berarti pak Bryan itu langit, om yang jadi kerak buminya." Ceplos Jena yang lalu menahan tawa melihat kilat marah di mata Daniel.

"Je, kadang saya kepikiran buat tuker tambah istri." 

Jena tertawa lepas. "Dih! Situ laku emang?"

"Nantangin?"

"Yaudah nanti Je coba lelang om di online shop."

Daniel menggeram, ia sudah tidak mengerti lagi jalan pikiran istrinya ini. "Gak lucu"

"Dih, aki aki ngambek."

Tiba tiba bel rumah berbunyi. Jena berhenti tertawa, sementara Daniel menoleh ke pintu utama yang terhalang sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga. Laki laki itu menyuruh Jena membukakan pintu untuk tamu yang baru saja menekan bel.

Dibukanya pintu tersebut, menampilkan seorang perempuan yang berdiri di depan pintu, memakai pakaian kerja serta beberapa berkas di tangannya.

Dina. Sekertaris suaminya itu berhasil membuat Jena terkejut bukan main.

.

.

.

HAYOOO DANIEL BRYAN AD APA YH
SEE YOU GUYSS

ALJENA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang