Selagi mampu, Daniel usahakan semua hal yang Jena mau. Selagi permintaannya bisa ia dapatkan, apapun akan ia usahakan.
Daniel hanya berdoa semoga dirinya diberi kekuatan agar bisa mengabulkan keinginan Jena. Perempuan itu memang tidak banyak menuntut, tapi beberapa kemauannya cukup membuat Daniel kalang kabut.
Bandel memang.
Menjelang tengah malam minta diantar ke angkringan. Daniel jelas melarang pada awalnya, tapi Jena keukeuh ingin pergi. Ia bisa apa selain menuruti?
"Pakai jaket yang tebal."
"Bawel!"
Angkringan yang Jena pilih berada di dalam gang dan jauh dari ricuh kendaraan. Keduanya memilih beberapa tusuk makanan untuk disantap. Setelah itu menyarik lesehan yang berada di sudut ruangan.
Jena mengedarkan pandangan menatap sekitar. Tidak terlalu ramai, kebanyakan pengunjung adalah anak muda. Tak jarang juga para lansia yang terlihat khidmat menikmati hari tuanya ditemani dengan secangkir bajigur untuk menghangatkan badan.
Daniel berdesis saat hilir angin terasa menyapa hingga bulu bulu halus di kulitnya berdiri sempurna. Salahnya tidak membawa jaket, sementara pakaian yang ia kenakan adalah kaos tipis yang tidak menghangatkan sama sekali. Sampai ketika pesanan datang, teh hangat menjadi acuan Daniel untuk ia santap pertama kali.
"Pelan pelan, panas loh itu," peringat Jena.
"Ini apa?" Tanya Daniel memperhatikan satu tusuk sate didepannya.
"Itu—"
"Oh ati ampela."
Jena mendelik sebal. "Kalo—"
"Iya, kalo udah tau nggak usah nanya."
"Ngeselin."
"I love you."
Jena sontak mengerjap. "Kacau, pesona pria matang gak pernah gagal," racaunya tak jelas.
Memang sudah banyak kemajuan dalam hubungan mereka. Sudah mulai saling terbuka, lebih dekat, dan tidak ada kecanggungan di antara keduanya.
Tapi Jena belum terbiasa saat Daniel flirting secara terang terangan, rona merah di wajahnya tidak bisa ia sembunyikan.
"Tau gak sih? Ternyata temen Je yang namanya Fira itu, dia kerja di cabang perusahaan punya Om."
"Oh ya? Yang dimana?"
"Kalimantan."
"Wow, merantau dia?"
Jena mengangguk sebagai jawaban. Selanjutnya ia sibuk menggulir ponsel berbalas pesan dengan Fira. Temannya itu turut senang saat mengetahui kabar kehamilan Aljena.
Selanjutnya dua sejoli itu mengobrol tentang banyak hal, seperti; bagaimana Jena membuat waffle hingga dapur berantakan, bagaimana tukang kebun memindahkan tanaman kesayangannya pada pot yang lebih bagus hingga membuatnya kerepotan, dan semua hal yang bisa Jena ceritakan, malam itu tumpah ruah bersama dengan perasaan keduanya yang asik diaduk aduk.
Bahkan Daniel merasa, rasa hangat dari aura yang Jena pancarkan mampu menyelimuti meja nomor 12 ini hingga dingin tak lagi menyapa.
Selesai dengan acara menyantap makanan, keduanya berniat pulang.
"Udah bayar belum?" Daniel bertanya.
"Belum, lah," jawab Jena seraya beranjak dari duduknya.
Ya pikir Daniel, siapa tau Angkringan disini sama dengan cafe pada umumnya yang mendahulukan pembayaran sebelum makanan disediakan.
Laki laki itu merogoh dompet, ia dibuat melongo oleh isinya. Kosong.
"Je, disini bisa pakai debit?"
"Nggak kayaknya," jawab Jena setelah menelisik bagian kasir yang tidak menyediakan kode QR untuk pembayaran secara online.
"Ini saya nggak ada cash."
Jena menatap Daniel masam. "Ya udah, pake uang Je aja."
"Gapapa, ya? Sini nomor rekening kamu, gantinya biar saya transfer."
"Udah, nggak usah, nggak nyampe 50 juga."
Daniel serius saat akan mengganti uang Aljena, tapi perempuan itu tak kalah serius dalam menolak tawaran Daniel.
Selesai melakukan pembayaran, keduanya bergegas memasuki mobil. Melaju di jalan raya yang cukup lenggang karena jam mulai menunjukkan tengah malam.
Di pinggir jalan, tiap pepohonan bergerak rindang akibat angin dingin yang berhembus kencang.
Daniel janji, ini yang terakhir kali. Kedepannya ia pastikan tidak ada lagi agenda jalan jalan tengah malam yang dapat memperburuk kondisi kehamilan Aljena.
Mungkin perempuan itu merasa baik baik saja, but who knows?
"Papa Tara udah tau mengenai kehamilan kamu?"
"Belum, secepatnya Je kasih tau. Tapi gimana sama mama Soraya..." Jena teringat kali terakhir ia bertemu dengan mama mertuanya yang bisa dibilang tidak baik baik saja.
Daniel meraih tangan wanitanya untuk digenggam. Benar kan dugaannya, telapak tangan yang putih pucat itu terasa sangat dingin.
"Maaf ya, karena mama punya pengendalian emosi yang buruk. Wajar kalau kamu nggak nyaman, saya juga nggak suka tiap amarah mama meledak ledak dan bikin kacau seisi rumah."
Jena menghela nafas. "Bukan nggak nyaman si, lebih ke takut aja kalau nanti Je ikut dibenci sama mama Soraya."
"Nggak, mama nggak pernah benci siapa siapa, dia cuma belum bisa terima keadaan, dia nggak bisa terima kenyataan kalau papa selingkuh, dia belum bisa terima Alvian."
"Diluar itu, saya yakin, mama cuma kesulut emosi. Sudah pernah saya peringatkan, kan, buat jangan dekat dekat sama mereka—papa dan mama. Karena saat itu keadaan mereka benar benar kacau dan psikis mama lagi nggak stabil."
"Dia cuma butuh waktu untuk berbenah diri, dia butuh waktu untuk benar benar sembuh. Mama pernah bilang, dia juga nggak mau nyakitin orang orang di sekitarnya."
Jena mendengarkan dengan seksama, kini genggamannya pada tangan Daniel semakin erat.
"Om sayang banget ya sama mama Soraya?"
Belum. Daniel belum memiliki jawaban dari pertanyaan Jena malam itu.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ALJENA-[END]
Fiksi RemajaAljena Claudia, seorang mahasiswi semester akhir yang tengah kelimpungan dalam menyusun skripsi. Beban hidupnya kian bertambah saat sang papa dengan kurang ajarnya menyuruh dia untuk segera menikah-yang katanya demi menyetujui kontrak kerja sama den...