#17

15K 583 2
                                    

Bekerja bukan hanya perihal menghasilkan uang. Bukan hanya datang ke kantor, melakukan suatu pekerjaan, lalu pulang.

Bekerja tidak selalu berkaitan dengan uang. Bagaimana kamu menjadi berguna bagi orang orang, menghasilkan suatu pencapaian, berinteraksi bersama rekan, adalah bagian dari terciptanya suatu aktivitas pekerjaan.

Dimana kamu bekerja, kultur disana lah yang perlu kamu seimbangi dengan personilty yang kamu miliki. Dalam artian, kamu perlu bersosialisasi.

Berkenalan dengan rekan kerjanya adalah langkah pertama yang Jena lalui. Tidak sedikit dari mereka yang menyambut uluran tangannya dengan gembira, tak banyak juga yang biasa saja.

Jena bukan tipe orang yang pandai bersosialisasi, tapi semakin dewasa usianya, semakin ia paham pentingnya suatu koneksi.

Contoh paling sederhana adalah saat kemarin ia mencari pekerjaan, atau saat ia harus melakukan observasi untuk memenuhi tugas semesteran. Demi Tuhan, Jena kesulitan karena tidak punya banyak kenalan.

Di jam istirahat kantornya kali ini, Jena memutuskan untuk pergi makan siang.

Pagi hari nya ia habiskan untuk memilih pakaian hingga tak sempat untuk sarapan. Lalu Daniel malah menyuruhnya mengganti baju tanpa segan, tanpa tau seberapa lama waktu yang sudah Jena gunakan untuk memilih pakaian.

Sialan.

"Sebelumnya ada yang pernah jadi sekertaris pak Bryan gak sih?" Tanya Jena sebelum menyendok makanannya.

"Ada. Tapi setelah dia resign, gak ada lagi pelamar yang mau ambil posisi sebagai sekertaris pak Bryan," kata Baila—teman kerjanya yang Jena ajak makan siang sekarang.

Jena lantas terdiam, kunyahan dalam mulutnya ikut memelan saat berbagai macam pertanyaan muncul dalam benaknya.

"Kalo kamu nanya kenapa, banyak jawabannya."

"Kata beberapa orang pak Bryan itu ngeselin, dia banyak omong, banyak komentar, gak becus kerja, anak manja."

"Belum ada yang tau gimana aslinya, karena in the fact pak Bryan itu keliatan cuek banget. Jangan kan buat banyak omong ke pegawai, nyapa aja belum pernah."

Banyak omong. Belum pernah.

"Masa sih????"

Jena melongo, mencerna setiap kata tentang Bryan Carlos yang Baila jabarkan meski tak terlalu detail.

"Suaranya cuma dia pake buat ngasih tau kerjaan orang, jelasin sistem kerja yang mau dijalankan, minta kopi ke OB, selebihnya paling nanyain jam meeting. Selain itu kayak gak ada lagi yang perlu dia omongin."

Oke, sejujurnya Jena masih tak paham. Karena apa yang Baila beritakan padanya, jauh dari pendapat Jena menurut apa yang telah terjadi di antaranya dengan Bryan.

"Tapi kita kan gatau aslinya gimana, jadi kamu siapin diri aja just in chase kalo yang mereka omongin itu benar adanya, kamu harus siap mental."

Jena meringis pelan, agaknya itu terlalu berlebihan.

"Eh, jam istirahatnya udah mau abis, aku sembahyang dulu ya."

"Oh, iya iya. Aniway, thanks ya info nya."

"Selaw," kata Baila sebelum pergi meninggalkan Jena yang memang sedang berada di tanggal merah.

Detik selanjutnya perempuan itu kebingungan akan hal acak yang ia pikirkan. Jena jatuhkan kepalanya di atas meja, berharap beban di dalamnya ikut jatuh berserakan.

Ia hembuskan napasnya kasar, ternyata memejamkan mata saja tak cukup untuk mengusir suara berisik di kepalanya. Menyangkal fakta bahwa ia rindu sang papa.

ALJENA-[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang