#11

19.9K 757 7
                                    

Setelah kejadian yang menguras perasaan dan pikirannya tadi, Jena memutuskan untuk membersihkan diri dari segala kotoran yang menempel di badannya.

Sepertinya tidak afdol kalau Jena belum merenung di atas kasur. Apalagi saat ini perasaannya benar benar tidak bisa di jelaskan.

"Better nangis dari pada bengong kalo kata saya."

Itu suara Daniel yang baru saja menutup pintu kamar dan menghampiri Jena yang tengah menyender di kepala ranjang.

"Di ejek cengeng ntar kalo nangis."

"Siapa yang ngejek? Kan saya doang yang tau."

"Ya itu, om yang ngejek."

Daniel tak menjawab, ia dengan raut wajah biasanya masih setia berdiri di pinggiran ranjang.

"Dari pada nyuruh Je nangis, mending om jelasin siapa Alvian?" Tawar Aljena menaik turunkan alisnya.

Pada situasi seperti ini, yang Jena butuhkan ialah teman berbincang.

Daniel tak menolak, kakinya ia bawa untuk menaiki ranjang, duduk tepat di samping Aljena dengan posisi yang sama—bersandar pada kepala ranjang di belakangnya. 

"Alvian ya?"

"Dia adik saya. Lebih tepatnya adik tiri saya."

Daniel mulai bercerita. Jena dengarkan dengan seksama. Kakinya ia tekuk di depan dada, lalu di peluk menggunakan kedua tangannya.

"Anak dari hasil permainan panas antara papa sama selingkuhannya dulu. I can't explain this, tapi saya harap kamu ngerti."

Jena bergumam mengiyakan.

"Sebagai bentuk tanggung jawab, papa pilih buat merawat Alvian dari pada harus menikah lagi."

"Alvian tau semua ini?" Tanya Jena di jawab anggukan oleh Daniel.

"Kejadian dimana Alvian di pukul habis habisan sama mama kemarin, itu udah jadi hal wajar di keluarga kita. Orang rumah tau betul kalau mama nggak suka Alvian. Tiap kericuhan yang terjadi, sebabnya gak jauh jauh dari konflik antara mama sama Alvian."

"Saya gak nemu cara buat ngatasin itu semua, mama keras kepala. Akhirnya saya memilih untuk tinggal sendiri."

"Terus? Alvian ditinggal gitu?"

Yang ditanya mengangkat sebelah alisnya sebagai jawaban iya.

Jena menggeleng tak percaya.

Daniel menetralkan jantungnya sejenak. Merutuki diri karena baru saja terpana dengan rambut perempuan di depannya yang mengayun mengikuti gerakan kepala Jena, apalagi ekspresi wajahnya.

Sial, itu lucu.

"Terus gimana sama Alvian?"

"Dia baik baik aja, sehat sampe sekarang."

"Lambemu mas!"

"Hah?"

"Ya om aja gak ada disana, gimana bisa tau kalo Alvian baik baik aja?"

Daniel menghela nafas. "Dia laki laki, Aljena. Saya sudah peringatkan biar dia bisa jaga diri, setidaknya sampai mama benar benar bisa terima keadaan. Lagi pula Alvian nggak akan mati cuma karena pukulan emak emak."

Dan tawa Jena pecah saat itu juga. "Emak emak om bilang? Istrinya papa om loh itu, mama om juga."

"Emang bener kan, usia mama saya itu sudah masuk usia lanjutan."

"Loh? Kok bisa awet muda gitu ya?"

"Kalo soal itu, kamu bisa tanya saya."

"DIH?! HAHAHA."

ALJENA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang