#14

18K 764 3
                                    

Hilir angin merombak rambut seseorang yang tengah dilanda gundah. Kaki jenjangnya bergetar, tak kuat menahan bobot tubuh yang sebenarnya ringan, hanya saja ia terlalu lelah untuk bertahan.

Walau nestapa, perasaannya ia paksa kuat untuk menaburkan bunga di atas gundukan tanah berumput. Mengundang memori masa lalu yang hampir hirap di telan waktu.

"Mama apa kabar? Je kangen tau, ma."

Banyak yang ingin Jena elu kan, banyak yang ingin diceritakan. Banyak sekali hingga ia mau mati.

Katanya hidup itu beragam. Ada yang memiliki sosoknya namun kehilangan perannya, ada yang memiliki keduanya, ada pula yang kehilangan keduanya.

Katanya lagi, dunia akan baik baik saja selama ada mama di sampingnya.

Ya, memang. Itu sebuah fakta yang tak semua orang bisa merasakannya.

"Maaf ya ma. Maaf karena papa bener bener diluar kendali Je. Maaf karena Je biarin papa ada di jalan yang nggak semestinya."

Jena capek menjadi anak yang berbakti, semua keinginan sang papa ia turuti. Hingga pernikahannya dengan Daniel adalah permintaan terakhir dari sang papa yang Jena iya kan.

"Maaf ya ma, Je nggak mampu, papa banyak mau."

Ia ingin hidup tanpa ada iming iming 'disuruh'.

Jena sudah sampai di titik ini. Dimana ia hampir selesai dengan dunia pendidikan, dimana ia sudah hampir berdamai dengan diri sendiri, dimana ia sudah menyandang gelar seorang istri.

"Je kesini bukan sama papa, Je gak lagi sendirian."

Jena menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Daniel yang berdiri menjulang. Lalu ia kembali pada nisan di depan.

"Je sekarang sama Om Daniel. Ganteng kan? Baik lagi, tapi ngeselin dikit. Eh kebalik, ngeselin, baiknya dikit," katanya berbisik.

Jena mengulas senyum, menatap pedih nama sang mama yang tertulis rapi di nisan putih.

Merasa sudah cukup lama ia berada disana, Jena menyiapkan diri untuk pergi.

"Nanti lagi ya, ma. Dateng ke mimpi Je, nanti Je ceritain tentang dunia saat ini. Je pulang dulu," pamitnya sebelum berlalu menuju parkiran TPU.

Di kursi kemudi sudah ada Daniel yang siap menyalakan mesin. Jena pandangi penampilannya dari atas hingga bawah, masih dengan setelan yang seperti biasanya—baju kemeja di lapisi jas kantor, hanya tanpa dasi saja. 

"Om kerja gak hari ini?" Tanya Jena seraya menarik tisu untuk mengelap keringat di pelipisnya.

"Kalau saya gak kerja kamu mau makan apa Aljena?"

"Makan harta om."

"Ya lagian, biasanya petinggi di kantor itu kerja nya ringan, gak ada sibuk lembur sibuk ini sibuk itu."

"Sok tau kamu. Makin tinggi pangkat seseorang di lingkungan pekerjaannya, makin tinggi juga tanggung jawabnya."

Di detik selanjutnya dering ponsel menyita perhatian mereka. Jena menatap Daniel yang kini tengah menerima telfon, bercakap pelan tanpa bisa Jena mengerti.

Jena menoel lengan Daniel.

"Siapa?" Katanya tanpa mengeluarkan suara.

"Mama," jawab Daniel dari gerakkan bibirnya.

Jena tak menjawab lagi, sampai saat ia sedang memoles lip balm di bibir, volume suara Daniel meningkat membuatnya mengerjap.

"Daniel kesana sekarang."

ALJENA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang