#28.

16.7K 601 6
                                    

Akhir akhir ini, duduk berdua dan berbincang tentang banyak hal bersama Daniel, menjadi kegiatan yang paling Jena tunggu tiap harinya.

Coklat hangat memang sangat cocok sebagai teman berceloteh kala udara sedang dingin dinginnya menyapa kulit.

Sudah ada sekitar 30 menit dua anak Adam itu duduk di teras rumah, menikmati rintik hujan yang berjatuhan, dedaunan bergerak rindang, semerbak bau tanah yang basah terguyur air hujan menyapa indra penciuman.

"Om."

Daniel menoleh, pada perempuan yang duduk di sebelahnya.

"Je nggak pernah nyangka dalam hidup bakal ada masa kayak gini, duduk berdua nikmatin langit mendung yang nggak ada apa apanya selain air hujan yang turun. Yang kalo orang lain liat, pasti ngiranya kita bengong doang," Jena tertawa sejenak.

"Iya emang bengong. Tapi timbul rasa tenang gitu disini," lanjutnya seraya menunjuk dada, nyaman.

Kemudian Jena terkekeh menyadari celotehannya yang tak jelas. Ia ingin mengutarakan perasaannya saat ini, namun entah harus dengan kata yang sebagaimana mestinya agar dapat dipahami.

Padahal si lawan bicara sudah mengerti bahkan tanpa dia jelaskan panjang lebar.

Kehadiran Jena di sini sudah menjelaskan bahwa perempuan itu nyaman, berwaktu waktu terdiam hanya untuk menikmati hujan.

"Kamu suka hal selain hujan?"

Jena mengangguk semangat. "Waktu matahari terbenam."

"Sunset," gumam Daniel.

"Iya, Je suka itu."

Ada satu lagi yang belum ia akui. Duduk bersama Daniel dan berbincang tentang banyak hal, menjadi salah satu kegiatan yang paling ia sukai saat ini.

Hening kembali menyapa. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya ada hilir angin yang Jena resapi, dan Daniel yang asyik mencecap rasa coklat pada lidahnya sebelum Jena kembali berceloteh ria.

"Om masih inget gak, first time kita meet up dan Je sempet mau nolak perjodohan ini, cuma nggak segan aja. Om juga gak berekspresi sama sekali, bikin bingung sebenernya ni cowok tuh ikhlas nggak, sih, buat nerima dan nikah sama Je," kata Jena sambil menerawang pada kali pertama keduanya bertemu.

Sementara Daniel menyelesaikan tegukan terakhirnya dengan nikmat, dengan telinga yang terbuka lebar mendengarkan tiap kata yang terucap dari bibir mungil milik perempuan di sampingnya.

"Maaf, ya. Saya masih inget malam itu mood saya hancur banget. Siangnya Alvian dimarahin habis habisan, belum selesai perkara Alvian, mama kasih tau kalau dari pihak perempuan yang mau dijodohkan itu masih seorang mahasiswi. Sore itu saya mendebat papa, nggak akan mau terima perjodohan ini yang nantinya malah mengganggu pendidikan kamu."

Lihat. Daniel sangat tampan saat banyak berbicara seperti ini. Bercerita tentang hal hal yang baru ia ketahui, Jena suka sekali.

Apalagi saat laki laki bersetelan santai itu terkekeh dengan kepala tertunduk, membuat rambut hitam klimisnya bergerak pelan yang hampir merenggut kesadaran Jena saat itu.

"Tapi di detik pertama saya liat kamu, pertama kali mata kita bersibobrok di bawah lampu cafe yang temaram, saya tertarik untuk tau lebih dalam tentang—apa sih, kelebihan perempuan ini?"

Mendengarnya membuat Jena tertawa atas fakta menarik yang baru ia ketahui.

"Tapi ternyata? Nggak ada, ya? Je biasa aja?" Tanyanya jenaka, ikut membuat Daniel tertawa pelan di tempatnya.

"Not gonna lie. Di Minggu pertama pernikahan, kamu emang membosankan, banget."

Belum selesai Daniel berbicara, Jena sudah tertawa terbahak bahak sambil menggelengkan kepalanya tidak kuat.

ALJENA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang