#30.

16.5K 620 2
                                    

Katanya cinta itu bisa datang karena intensitas kedua belah pihak. Sering bertemu, berinteraksi, dan bertegur sapa. Itu menjadi dasar timbulnya suatu ikatan yang berakhir saling membutuhkan.

Apa yang dibutuhkan kedua belah pihak?

Rasa nyaman, aman, dan tenang.

Hari hari berlalu, malam malam dingin yang Jena lewati mulai terasa hangat karena kenyamanan yang Daniel berikan, rasa tenang menyelimuti, ia aman dalam dekapan laki laki itu.

Pukul 14.00 WIB. Daniel pulang lebih cepat dari jadwal biasanya. Karena akhir akhir ini-yang Jena ketahui- suaminya sedang disibukkan dengan proyek pengembangan suatu produk yang akan segera dipasarkan.

Kerap kali pulang larut, atau bahkan menginap di kantor. Jena tak ambil pusing, selama Daniel makan dengan teratur dan punya tempat yang nyaman untuk tidur.

"Tumben pulang sore?" Tanya Jena.

Perempuan itu sama sama sedang disibukkan oleh pekerjaan yang menumpuk. Waktunya ia habiskan di atas ranjang, berkutat dengan laptop. Sesekali pindah ke ruang santai, namun tetap, di depan laptop. Tapi terkadang di meja kerja milik Daniel, di depan komputer.

"Pekerjaan saya diambil alih, saya butuh istirahat," kata Daniel sembari menaruh jas nya pada keranjang tempat pakaian kotor.

Tampilannya kacau, rambut berantakan, kantung mata menghitam, dasi dan kemeja acak acakan. Jena menghela nafas, sungguh kasihan.

"Nggak mandi dulu?"

Daniel menggeleng, yang malah mendudukkan tubuhnya di atas ranjang-disamping Aljena-setengah berbaring disana.

"Di bawah ada makanan, saya beli buat kamu."

Jena menghela nafas, sudah biasa. Karena pikirnya Daniel sering pergi pagi, pulang malam, sarapan di luar. Jadi selama itu Jena tidak memasak. Paling kalau ia ingin, baru membuat mie instan.

Lalu datang Daniel yang kepulangannya selalu membawa makanan, atau bahkan camilan. Laki laki itu mengerti Jena.

"Makasih, ya. Lain kali beli buat om juga, biar kita makan bareng bareng."

Daniel mengangguk mengerti. "Iya, next time, ya. Kalau pekerjaan saya udah mulai santai, kalau jadwal saya udah nggak padat. Nanti kita makan berdua, di meja makan, bareng bareng."

Jena mengulas senyum. Sederhana, ya? Memang.

Selanjutnya jari jari lentik perempuan itu menari di atas keyboard, menyelesaikan suatu pekerjaan yang sempat tertunda karena ia sempat mengambil cuti untuk mengurus papanya.

Lama dalam keadaan seperti itu, Daniel masih menatap intens ke arah Jena yang kini bersandar pada kepala ranjang, lelah.

"Kamu bisa berhenti kerja, Je. Saya masih sanggup biayain kebutuhan kamu."

Jena menoleh dengan pandangan sayu. "Maaf ya, nanti Je cari waktu yang tepat buat resign, kalau sekarang nggak memungkinkan."

Daniel mengangguk mengerti. Ia lantas menarik tubuh Jena untuk dibaringkan dengan posisi kepala berada di atas pahanya. Perempuan itu tak berontak, malah sibuk memandang Daniel dari bawah.

"Kamu tau nggak, Je?"

Menyadari Daniel yang akan bercerita, Jena memperhatikan dengan seksama.

"Bryan itu dulu temen saya di sekolah menengah. Kita temen sekelas, sebangku, secircle kalo kata anak jaman sekarang."

ALJENA-[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang