It is not the pain. It's who it came from.
***
Three ... two ... one ....
Oh, damn! You're still alive!
Luna menghitung mundur dalam hati. Matanya terpejam rapat. Kalau boleh berharap, inginnya saat ini sudah mati. Tetapi nyatanya, kakinya masih berdiri dengan sama baiknya seperti sebelumnya. Paru-parunya terasa mau meledak ketika ia berusaha menahan napasnya.
Jemarinya mencengkeram ujung baju dinasnya sampai terasa kebas. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Bolehkah ia merasa hancur, saat kejadian yang disangkalnya mati-matian itu ternyata memang terjadi, dan kenangan buruk itu bukan hanya mimpi?
"Lucu juga, ya, To, bila seorang duda mempertanyakan keperawanan," sindirnya pedas tanpa menatap Seto.
"Lho? Kok, gitu?"
"Bukankah kita impas sekarang?"
"Gue, kan, cuma kepingin tahu, Na. Apa salahnya?" Seto mengangkat kedua alisnya. "Lagian, wajar gue nggak lagi perjaka. Kan, gue udah pernah nikah?"
"Terus, apa itu penting banget buat lo?"
Seto berpikir sejenak, lalu mengangkat bahunya. "Nggak juga, sih."
Luna tersenyum pahit. Ekspresi santai Seto membuatnya malu sekaligus merasa bersalah telah gagal mempersembahkan harta paling berharga itu untuk suaminya. Dan entah jujur atau tidak, tidak mungkin Seto tidak kecewa. Tidak mungkin Seto tidak menganggapnya penting. Mungkin Seto pintar menutupi perasaannya dengan berpura-pura.
"Gue memang perempuan kotor, To," sahut Luna lirih. Ada kepedihan yang menusuk dalam suaranya yang bergetar. "Mungkin sekarang lo juga udah jijik sama gue. Tapi, bila itu memang nggak penting, seharusnya lo nggak usah bertanya, kan?"
Seto terkesiap. "Na?"
"Gue udah terlambat." Luna menyambar kunci motor dari atas meja. Dadanya sesak. Bibirnya bergetar menahan tangis. Tak ada gunanya berlama-lama di rumah. Ia takut pertahanannya runtuh.
"Eh?" Seto mengangkat kepala. Sesaat kemudian ia baru tersadar akan ucapannya yang melewati batas, kala melihat Luna melewatinya dengan kedua bola mata berkabut. "Na, ma–maksud gue—"
Beberapa saat kemudian ia bergegas menyusul Luna dari belakang dengan setengah berlari.
Terlambat.
Motor itu telah meraung pergi. Ia berkacak pinggang sambil menyumpahi diri.
Dasar mulut idiot!
Seto menyugar rambutnya gusar dan kembali ke dapur, lalu mengempaskan bokongnya di kursi. Kopinya tinggal separuh. Semangkuk bubur ayam yang tersedia tak lagi menarik minatnya. Padahal kuah kari buatan Luna terkenal lezat. Andai Luna bukan seorang pegawai negeri, mungkin mereka bisa bekerjasama membuka restoran.
Kehidupan yang keras kerap memaksanya mengenyampingkan perasaan. Mulutnya cenderung blak-blakan. Ia kurang peka terhadap perasaan perempuan. Salah dua kode etiknya selama menjadi preman adalah haram melakukan kekerasan kepada perempuan dan menghilangkan sebuah kehidupan. Lain daripada itu, haram bisa jadi halal selagi mulutnya masih bisa makan.
Kini ia berpikir, apa yang telah terjadi kepada Luna. Rasanya, ia telah menunaikan tugasnya sebagai seorang teman terdekat dengan sebaik-baiknya. Ketika Luna bekerja sampai malam di warnet sambil kuliah, ia setia mengantarnya pulang ke tempat kos, atau meminta rekan-rekannya sesama preman untuk ikut menjaga Luna dari kejauhan bila ia berhalangan.
Luna tidak pernah mengenal laki-laki. Perempuan itu terlalu polos dan naif. Hanya Gilang, itu pun ditolaknya mentah-mentah.
Selepas SMA, Luna mempertahankan penampilan ala kutu buku—tanpa kacamata tebal seperti dalam kebanyakan film—dengan dandanan buluk dan kepala selalu menunduk. Bahkan sampai tamat kuliah Luna tak pernah menceritakan seorang laki-laki pun yang menarik perhatiannya. Hingga di usia tiga puluh tiga, Luna tak kunjung menemukan someone special–nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...