No matter how much suffering you went through, you never wanted to let go of those memories. — Haruki Murakami.
"Kamu ngapain di situ?" Seto setengah berteriak pada Luna yang bersembunyi di balik batang bonsai yang daunnya cukup rimbun.
Luna mengintip sejenak, kemudian buru-buru meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Matanya celingukan ke kiri dan ke kanan. Raut wajahnya cemas.
Seto pun mendekat dan ikut bersembunyi bersama Luna. "Kamu ngapain di sini?" bisiknya.
Luna hanya menjawab dengan mengarahkan jari telunjuk ke atas kepalanya.
Seto mendongak. Tampak olehnya setandan pisang yang masih melekat di batangnya. Pohon pisang itu sedikit merunduk. Daun-daunnya sudah mengering. Beberapa buahnya berwarna kuning. Dua di antaranya bolong dimakan tupai.
"Kamu mau ngambil pisang?"
Luna mengangguk.
"Udah minta sama Pak Haji?"
Luna merengut. "Pak Haji, kan, pelit!"
"Terus, kamu mencuri, dong?"
Gadis kecil berbaju dekil itu malah nyengir. Ia merangkak mendekati batang pisang hendak memanjatnya. Sebelumnya, ia menoleh sekali lagi ke sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat aksinya.
"Tunggu, biar aku yang manjat." Seto bergegas menggantikan posisi Luna.
Untungnya, pohon pisang itu tidak terlalu tinggi, tetapi batangnya cukup gempal. Karena licin, Seto beberapa kali meluncur lagi ke bawah. Sampai akhirnya tangannya berhasil menggapai tandan pisang dan memuntir buahnya yang sudah matang.
"Kamu kayak monyet, To!" Luna berseru sambil cekikikan dari bawah.
Seto mendelik sebal. "Demi kamu!"
Luna lagi-lagi terkikik. Ia menyambut pisang-pisang yang dilemparkan oleh Seto dengan semringah. Gadis kecil berumur delapan tahun itu menjadikan bajunya yang sudah usang dan melar sebagai wadah.
Mereka bergegas berlari membawa buah pisang tersebut ke belakang rumah Seto dan bersembunyi di sana.
"Kamu lapar banget, ya?" tegur Seto masih terengah-engah.
Luna mengangguk dengan mulut penuh.
"Kenapa nggak makan nasi aja?"
"Udah dihabisin ayah," sahut Luna seadanya.
Seto tertegun. Tadinya, air liurnya terbit menatap pisang ranum tersebut dan ingin meminta bagiannya. Namun, mendengar perkataan Luna, seleranya langsung surut. Biarlah buah-buahan itu untuk mengisi perut Luna saja. "Ya sudah, habisin pisangnya."
Setelah pisang itu hanya menyisakan kulitnya saja, Luna pun terdiam kekenyangan. Raut mukanya berubah. "Kamu ikut berdosa, dong?"
"Kenapa?"
"Kata Pak Ustaz, mencuri itu berdosa, kan?"
Seto menelan ludah, kemudian tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, biar aku yang nanggung dosanya."
"Dosaku juga?"
"Iya!"
"Horeee!"
***
"Nggak usah ngeles, deh!"
"Enggak, Na. Kan, mereka nggak ada yang nanya gue udah nikah atau belum. Masa gue bikin pengumuman buat orang sekota, sih?"
![](https://img.wattpad.com/cover/207132188-288-k796828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...