"Airnya jangan banyak-banyak ya, To," celoteh Luna pada Seto sembari mengajarkan pria itu cara menyiram aneka tanamannya. Seto sampai pusing sendiri. Luna berkata, cabe-cabean tidak perlu diberi banyak air karena akarnya rentan busuk. Sementara untuk tomat, terung dan melon cenderung rakus air sehingga diberi porsi yang lebih banyak. Masalahnya, Seto sendiri kesulitan membedakan mana tanaman melon, cabe, tomat dan terung. Ia sampai bertanya berkali-kali, dan berkali-kali pula Luna menjawabnya dengan sabar.
Biasanya, setiap hendak dinas atau diklat di luar kota, Luna menitipkan tanamannya pada tetangganya. Dengan imbalan uang yang setimpal, tentunya.
"Memangnya berapaan sih, harga tanaman lo?" celetuknya mengamati pekerjaan Luna.
"Tergantung jenisnya," jawab Luna. "Paling murah satu benih gue jual seribu rupiah."
"Hah?" Seto ternganga. "Maksud lo, satu biji yang kecil-kecil itu seribu rupiah?"
"Hmm."
Seto langsung meneguk ludah. Pantas saja tempo hari ekspresi Luna seakan ingin mengulitinya hidup-hidup ketika bunganya dijual begitu saja. Seto membayangkan ada ratusan biji yang dihasilkan bunga tersebut. Kalau dihitung-hitung, satu pot kecil itu menghasilkan ratusan ribu rupiah!
Oooo-ke, ternyata bisnis recehan Luna menarik juga!
"Lo pergi berapa hari, sih?"
"Kayaknya cuma dua hari."
"Menginap di mana?"
"Di hotel."
"Jakarta Barat, mah, dekat, Na. Kenapa nggak balik hari aja?"
"Capek, To. Lagi pula kami cuma mengumpulkan berbagai bahan untuk diperiksa, lalu dibawa pulang dan dikerjakan di sini. Sekitar dua minggu lagi balik ke sana buat exit briefing."
"Oh." Seto mangut-mangut. Ia tidak mengerti detail pekerjaan Luna. Baginya, pekejaan menghitung uang yang tidak jelas wujudnya itu sangat membosankan dan memusingkan kepala.
Setelah bersiap-siap, Luna meminta Seto mengantarnya ke jalan utama dengan sepeda motor. Ia menjinjing sebuah tas berisikan pakaian dan keperluannya selama berada di luar kota.
"Dua hari ke depan, gue makan sendirian, dong?"
"Kenapa memangnya? Lo takut?" ledek Luna.
"Bukan takut," kata Seto enggan. "Gue jadi kesepian kalau nggak ada elo, Na."
Semalam ia terjaga selama dua jam sambil menatap wajah Luna yang terlelap. Matanya tak putus-putus menatap bibir Luna. Ia seakan melewatkan banyak hal dalam durasi pertemanan mereka yang puluhan tahun itu. Kenapa mendadak Luna terlihat menarik di matanya?
Luna diam saja. Kenapa tingkah Seto aneh sekali? Ucapannya membuat baper. Atau hanya dirinya yang ge-er?
Seto menunggu Luna berangkat seraya berbincang ringan. Lima menit kemudian, sebuah mobil plat merah berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang laki-laki keluar dari pintu depan, kemudian bergegas membukakan pintu penumpang. Laki-laki itu tersenyum manis sekali kepada Luna.
"Silakan, Na," katanya ramah. Nada suaranya terdengar empuk di telinga.
Namun, interaksi itu membuat Seto mengerutkan dahi. Apa pentingnya lelaki itu membukakan pintu segala? Memangnya Luna anak kecil?
Untuk beberapa saat, ia mendadak tidak percaya diri. Lelaki itu tampak gagah dengan baju dinasnya, serasi dengan seragam Luna. Rambut pendeknya disisir rapi. Di pergelangan tangannya melingkar sebuah jam tangan berwarna perak. Sepatu pantofelnya tampak mengkilat.
![](https://img.wattpad.com/cover/207132188-288-k796828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...