"You only live once, and the way I live, once is enough." — Frank Sinatra
"Lima butir tidak akan membuatmu mati."
"Tidak usah berlebihan, sok merasa paling teraniaya sampai mau mati segala. Masih banyak yang hidupnya jauh lebih susah darimu!"
"Diamlah! Jangan sok tahu!"
"Kau tak tahu caranya bersyukur? Dasar kurang iman!"
"Sadar, Na, istigfar."
"Istigfar? Apakah itu sejenis mantra yang bisa membuatnya lebih baik? Dia sudah lelah."
"Hidupmu tak berguna. Sudahlah, mati saja!"
"Lima butir sudah cukup, kan?"
"Huh, paling-paling kau hanya pingsan!"
"Manusia lemah!"
"Menurutmu berapa yang harus dia minum agar dia cepat mati?"
"Habiskan saja seluruh isinya."
Suara-suara itu seperti perdebatan para panglima perang di hadapan sang baginda ratu. Setiap suara memiliki pendapatnya sendiri dan Luna pusing sekali mendengarnya. Telinganya berdenging seperti dikerubungi ribuan lebah.
"Tapi ... rasanya pahit, kan?"
"Kau ini mau mati atau tidak?!"
"Ya, ya, baiklah."
"Bagus!"
Luna menuangkan seluruh isi botol itu ke tangan kirinya. Beberapa butir yang tidak tertampung di telapak tangannya jatuh berceceran ke lantai. Setelah itu, ia menyambar sekaleng bir dengan tangan kanannya. Obat tidur dan minuman beralkohol adalah kombinasi sempurna untuk mempercepat proses kematiannya.
Adrenalinnya berpacu, larut dalam euforia menyambut maut.
Lucu!
Sebentar lagi, hidupnya yang memuakkan itu akan berakhir. Takkan ada lagi hantu-hantu mengerikan yang mengunjunginya di malam-malamnya yang membuatnya susah memejamkan mata. Ia bisa tidur pulas dalam keabadian.
Ia yakin, orang tuanya di Borneo sana pasti bahagia mendengar kabar kematiannya. Mereka akan menggelar tahlilan di hari ketujuh, keempat puluh, dan mungkin juga keseratus, lalu uang duka itu akan dipakai oleh ayahnya untuk berjudi. Oh, mudah-mudahan saja si bangsat itu menang, kalau perlu sampai lima milyar!
Hey, doaku terdengar tulus, kan?
Luna menjejalkan butiran obat di tangannya ke dalam mulutnya sampai pipinya menggembung. Belum sempat ia meneguk bir dan menelannya, terdengar suara ketukan di pintu kamar indekosnya. Ketukan itu terdengar tidak sabar, terburu-buru dan nyaris tak berjeda.
Siapa itu?
Wah, ada malaikat kesiangan!
"Na! Lo ada di dalam?"
Sial!
Para panglimanya lari tunggang langgang.
Pengecut!
Luna memuntahkan isi mulutnya ke dalam sebuah kantong plastik, kemudian membasahi mulutnya yang terasa pahit. Ia menyumpah tak karuan dalam hati. Kenapa Seto tidak datang nanti saja, setelah jiwanya berpisah dari raga?
Linglung ia membuka pintu. Seto berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah kantong plastik. Laki-laki itu terlihat mengembuskan napas lega. Tercium aroma makanan menguar keras di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...