20. Small Talk

5.5K 1K 233
                                    

Seto mengusap dan menempelkan ponselnya ke telinga berulang kali. Tidak satu pun panggilannya mendapat jawaban. Ia menatap benda itu gusar.

"Kenapa tampang Abang kusut begitu?" tegur Cecep yang tengah memperbaiki motor seorang pelanggan. Tangannya hitam belepotan oli bekas.

"Nagih utang," jawab Seto seadanya. Semalam ia memikirkan keinginan mengambil kredit rumah, tetapi tidak punya cukup uang untuk membayar DP-nya. Sementara untuk angsuran bulanan bisa ia usahakan nanti. Luna adalah seorang ASN. Mereka bisa memanfaatkan SK Luna sebagai jaminan. Tidak usah rumah yang besar, rumah kecil dengan dua kamar saja sudah cukup.

Ia memang belum membicarakannya dengan Luna. Namun, tidak ada salahnya mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu. Lagipula, tidak mungkin mereka mengontrak rumah untuk selamanya.

Seto menghubungi orang-orang yang pernah berutang kepadanya. Beberapa di antara mereka menyanggupi dan berjanji mentransfer dana secepatnya. Sementara yang lainnya berkilah tidak punya uang.

"Makanya, Bang. Jangan gampang-gampang aja minjemin duit sama orang. Nagihnya susah," tambah Cecep melihat tampang juragannya yang kusut masai. Sudah jadi rahasia umum, terkadang pihak yang mengutangi yang merasa tidak enak hati saat meminta uangnya kembali. "Giliran minjam aja mulutnya semanis madu, pas diminta, eh, lebih galakan dia daripada kita yang mengutangi."

Seto berdecak. "Ngomong sama kaca sana! Elo aja masih punya utang sama gue."

"Halah, dua ratus ribu aja, Bang. Duit segitu cuma cukup buat beli beras beberapa kilo." Cecep mencebik.

Seto tidak mengindahkan ucapan Cecep. Ia mengetik sebuah pesan di ponselnya.

[Kalau Abang nggak ngangkat telepon gue, siap-siap aja nanti malam gue datangin rumah lo pakai golok!]

Ia mendiamkan ponselnya selama beberapa menit, kemudian mengulangi panggilannya.

Pada dering ke empat, seseorang menyapanya dari seberang. "Ya, To?"

"Elo budeg, Bang?!" bentaknya kasar. Sebagai mantan preman, ia tidak perlu basa-basi busuk.

"Maaf, To. Gue belum punya uang."

"Dari bulan kemarin jawaban lo itu melulu. Pokoknya, minggu depan duit gue harus ada!"

"Gue mau cari ke mana, To? Bulan depan anak gue masuk SMA. Butuh uang banyak. Belum lagi adik-adiknya."

"Heh, punya urusan apa gue sama anak lo? Mau anak lo masuk sekolah atau masuk neraka sekalian, bukan tanggung jawab gue! Yang penting, lo bayar utang!"

"To ...."

"Gue nggak mau tahu. Minggu depan, duit gue harus ada. Atau gue datangin rumah lo pakai golok. Lo tahu, kan, siapa gue?"

Seto menutup panggilannya dengan jengkel. Ia tahu konsekuensinya saat meminjamkan uang, tetapi tetap saja merasa tidak tega ketika orang-orang meminta bantuannya dengan tampang memelas.

***

"Udah exit, Na?" sapa Maya sembari menghampiri Luna di meja kerjanya. Ia menyandang sebuah tas berisikan peralatan kerja.

"Udah, Mbak." Luna ikut membereskan berkas-berkas dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Satu jam yang lalu ia baru kembali dari instansi lain setelah melakukan exit briefing atas serangkaian pemeriksaan yang cukup melelahkan.

"Dapat berapa?"

"Lumayan, Mbak," sahut Luna tanpa menyebutkan angka secara gamblang.

"Belum terlalu sore," Maya melihat jam tangannya, "ngopi dulu, yuk?"

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang