Gadis itu berjalan ragu-ragu menyusuri gang demi gang. Seumur-umur baru sekali ini ia mendatangi lokasi pelacuran. Namun mau bagaimana lagi, hanya di sini tempat yang terpikirkan olehnya untuk mencari informasi tanpa khawatir dihakimi. Sesekali ia menoleh gelisah ke belakang, dan sesekali melongok resah ke depan. Tatapan penasaran dari orang-orang di sepanjang perjalanan, di matanya terlihat seperti tatapan curiga. Jantungnya berdegup tidak karuan.
Rambut panjangnya digulung rapat di dalam topi baseball putih yang sudah usang. Warnanya sudah mirip tapai singkong saking usangnya. Penampilannya nyaris seperti laki-laki. Ia mengenakan celana jeans panjang yang sudah buluk, ditambah kemeja flanel lengan panjang kedodoran yang menutupi kaos pendek berwarna hitam. Payudaranya dibalut lilitan stagen di dalam kaosnya agar tidak terlihat seperti dada perempuan.
"Hai, mau ditemani?" Seorang perempuan menyapanya genit.
Ia berhenti dan buru-buru mengangguk. Suaranya terdengar berat ketika berkata, "Berapa?"
"Lagi sepi, nih. Cepek aja."
"Cuma ada lima puluh, gimana?" Ia mengeluarkan uang dari dalam saku celananya.
Perempuan itu tertegun sejenak. Mau jadi apa generasi bangsa ini bila anak abege saja sudah berani berurusan dengan kenikmatan pertemuan antara lingga dan yoni, pikirnya.
Sudah dua jam ia berkeliaran, ia belum mendapatkan satu pun pelanggan. "Boleh, deh."
Tempat kos perempuan itu hanya diterangi lampu pijar lima atau mungkin delapan watt. Suasananya suram dan kelabu. Ruang tamunya berantakan. Tercium bau apak bercampur parfum menyengat begitu mereka ke dalam.
Sesampainya di kamar, perempuan itu langsung membuka bajunya.
"Jangan, Mbak!" Ia terpekik gugup. Wajahnya pias.
Perempuan itu mengernyit. "Kenapa? Takut? Tenang saja, saya bebas HIV, kok. Atau kamu mau pakai kondom?"
Ia membuka topinya. Rambut panjangnya seketika terurai.
Perempuan itu terbelalak sambil merapatkan kembali bajunya. "Kamu perempuan? Saya nggak mau berhubungan seks sesama jenis!" jengitnya jijik.
"Saya hanya mau bicara."
"Kamu siapa? Wartawan?" tukasnya curiga.
Ia menggeleng. "Bukan."
"Lalu?"
"Anu ... begini, Mbak." Ia menautkan jemarinya gelisah. Suaranya berubah gemetar antara takut dan putus asa. "Apa Mbak tahu di mana saya bisa menggugurkan kandungan?"
***
"Kenapa, Na? Apakah Seto mempermasalahkannya?" tanya Ambar berhati-hati.
Luna hanya mengangkat bahu, tetapi aura sendu di wajahnya menjelaskan segalanya. Awalnya ia pernah berpikir, bila menikah dengan seorang duda, maka status selaput daranya tidak akan dipertanyakan. Nyatanya, Seto sama saja seperti kebanyakan laki-laki yang memandang selaput dara sebagai value tertinggi seorang perempuan.
Kalau tahu akan begini ceritanya, mungkin lebih baik ia menolak lamaran Umi Diah. Atau bilapun diwajibkan menikah, ia akan memilih pria asing yang tidak peduli akan status selaput dara. Namun sialnya, tidak ada seorang bule pun yang tertarik kepadanya, meskipun ia pernah punya beberapa teman di dunia maya dari berbagai negara yang berbeda.
Lihatlah, betapa konyol isi otaknya!
"Sejak awal Mbak udah nggak percaya kalau hubungan kalian itu platonis. Nggak ada seorang pria pun yang nggak tertarik pada perempuan yang tidur dengannya setiap malam," kata Ambar lagi. "Apalagi kalau pahamu tersingkap dan belahan dadamu mengintip."
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...