It's your road, and yours alone. Others may walk with you, but no one can walk it for you. — Rumi.
Orang bilang, hidup itu seperti permainan Angry Birds. Saat kau terjatuh, selalu ada setidaknya seekor babi yang tertawa atas penderitaanmu. Dan apakah kau juga percaya, bahwa akan selalu ada sosok Bu Tejo — yang belakangan viral di jagad maya — di lingkungan tempat tinggalmu?
Memang, kedua contoh di atas tidaklah relevan. Tapi setidaknya, kenyataan berkata demikian.
Well, entah bagaimana dengan kehidupan para elit seperti di Menteng sana, Luna tidak tahu. Namun, dari belasan kali pindah kontrakan, ia hampir selalu menjumpai sosok Bu Tejo, meski dalam rupa dan derajat yang berbeda.
Kini, sosok tersebut hadir dalam perempuan paruh baya bernama Ani, persis nama tokoh dalam film Rhoma Irama menjelang tahun delapan puluhan. Perempuan itu entah kenapa sangat membencinya. Mulut nyinyirnya sering mengarah kepada Luna.
Perempuan itu pula yang membuat Luna malas mampir ke tukang sayur, walaupun hanya pada akhir minggu. Ia akan dikatai perawan tua, gadis tak laku, gadis pembawa sial dan semacamnya melalui berbagai sindiran halus maupun kasar.
Sialnya, Luna bukan tipe gadis yang hobi berkonfrontasi. Ia hanya akan mendiamkan ucapan beracun tersebut lalu menyumpah-nyumpah sesampainya di rumah. Mungkin, ia sudah termakan dogma bahwa melawan perkataan orang tua termasuk perbuatan yang tidak sopan. Atau, apakah justru dirinya yang tak punya keberanian? Sepertinya, alasan nomor dua lah yang lebih tepat.
Pernah juga Luna menyiasati dengan mendekati si Ani ini. Membawakannya masakan hampir setiap hari, bahkan sampai membelikannya oleh-oleh ketika Luna mengikuti diklat di luar kota. Sikapnya memang melunak, tetapi lebih menyebalkannya lagi, Ani memperkenalkan Luna pada berbagai pria seperti barang dagangan yang belum laku. Dalam hal ini, berusaha mencarikan Luna jodoh. Sampai ia harus kucing-kucingan keluar dari rumahnya sendiri ketika beberapa dari mereka berminat kepadanya.
Ia kini termenung di pinggiran tempat tidur. Jemarinya memutar-mutar ponsel di tangan. Pikirannya menerawang kemana-mana.
Luna mengakui, gagasan menikah dengan Seto demi menghindari nyinyiran sosok seribu wajah seperti Bu Tejo itu tergolong ceroboh. Ibarat hendak menulis sebuah cerita, premisnya masih mentah. Namun, ia butuh membuktikan bahwa perawan tua yang tidak laku itu adalah omong kosong semata.
Sebenarnya, bukan hanya itu saja. Luna sungkan menolak permintaan Umi Diah. Wanita itu sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Sewaktu mereka masih bertetangga, Umi Diah kerap membantu perekonomian keluarganya, bahkan sering memberi Luna uang jajan. Ibunya kerap meminjam uang pada Umi Diah dan tak jarang beliau merelakan uangnya tidak dibayar dan menganggapnya sebagai sedekah. Dengan alasan kedua tersebut, Luna menganggap premisnya sudah setengah matang.
Alasan selanjutnya, pernikahan tersebut tidak harus melibatkan hubungan seksual. Seto yang bilang sendiri, bahwa dia tidak tertarik pada Luna — atau mungkin suatu hari Seto berubah pikiran — yang mana akan diakalinya nanti. Dengan alasan ketiga tersebut, Luna merasa premisnya sudah cukup matang.
Setidaknya, itu menurutnya Luna. Ia melupakan fakta bahwa Seto juga memiliki premisnya sendiri.
Ponsel di kupingnya menyuarakan nada sambung. Belum terlalu malam untuk menelepon ibunya, meski di seberang sana jam dinding menunjukkan angka satu jam lebih cepat akibat perbedaan zona waktu.
"Na? Syukurlah kamu menelepon," jawab ibunya lega dari seberang sana.
Luna mengambil napas panjang. Sebetulnya, ia malas menelepon. Yang terdengar di telinganya hanya keluh kesah, bukan penghiburan atau sekadar kabar baik. Bahkan, ibunya tidak mau berbasa-basi menanyakan kabarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...