Creatures flock together with their kind, doves with doves, cranes with cranes and so on. - Democritus
Seto memarkir motornya di halaman di susul oleh Cecep yang ikut mengantarkan motor kepunyaan Luna.
Memang benar bahwa tukang bengkel dan tukang bangunan itu hampir mirip kelakuannya. Mereka akan mengerjakan milik pelanggan terlebih dahulu. Motor kepunyaan Luna baru selesai di-service setelah satu minggu 'tidur' di bengkelnya.
"Oh, jadi Abang tinggal di sini sekarang?" celetuk Cecep.
"Kepo amat, sih, lo?" sahut Seto. "Udah, sana pulang!"
"Iya, deh, Bang. Permisi." Cecep menggeluyur pergi, dari pada kena siraman rohani sekali lagi.
Belum sempat Seto membuka pintu rumah, seseorang memanggilnya dengan setengah berteriak, "Nak!"
Seto sontak menoleh. Tampak seorang perempuan setengah baya turun dari motornya dengan tergopoh-gopoh. Seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun—mungkin cucu perempuan itu—menunggu di atas motor.
Perempuan itu menyeret Seto ke dekat pot bunga kepunyaan Luna. "Saya mau beli bunga yang ini."
Seto menggaruk kepalanya. "Aduh, Bu, saya nggak ngerti urusan kembang. Itu punya isteri saya."
"Ah, biasanya saya beli sama isterinya sampeyan, kok. Dia belum pulang, ya?"
"Belum, Bu. Lebih baik Ibu tunggu saja atau nanti balik lagi ke sini. Biasanya Maghrib dia udah di rumah."
"Aduh, kelamaan! Maklum, ibu-ibu banyak kerjaan. Saya beli sama sampeyan saja, ya." Perempuan itu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dalam saku gamisnya. "Ini uangnya."
Seto tertegun menatap uang di tangannya. "Memang harganya segini, Bu?"
"Iya, biasanya segitu, kok."
"Oh, ya sudah."
"Makasih, ya."
Perempuan itu bergegas mengangkat pot bunga tersebut ke motornya, kemudian mereka berlalu pergi.
Seto memasukkan uangnya ke dalam saku. Badannya lengket-lengket, ia buru-buru masuk setelah itu.
***
Diamnya seorang perempuan adalah bencana. Seto lebih memilih diomeli sampai pagi dari pada didiamkan walau sebentar saja. Oke, ia bersalah telah menjual bunga kepunyaan Luna tanpa izin. Namun, wajarkah Luna sampai mendiamkannya segala?
Setengah jam lamanya ia mondar-mandir di depan kamar. Luna mengunci pintu dari dalam. Ia berkali-kali mengetuk, tapi tiada jawaban. Rasanya ia rela mengganti harga bunga tersebut sepuluh kali lipat, asalkan Luna mau bicara lagi dengannya.
Satu jam kemudian, tetap tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara raungan motor di jalanan.
Seto menyambar kunci motornya, lalu bergegas pergi. Ia menyusuri gang sempit ke arah perempuan tadi pergi. Matanya awas melihat ke kanan dan ke kiri. Di depan setiap rumah yang memiliki banyak kembang di halamannya, ia berhenti sejenak. Matanya menyipit di keremangan malam. Tidak semua rumah memiliki penerangan yang mumpuni sehingga semua warna terlihat sama saja di matanya.
Satu jam lamanya ia berkeliling, Seto berbalik arah dengan tampang lesu. Bahan bakarnya sudah hampir habis. Sebaiknya ia pulang saja. Ia akan memikirkan bagaimana caranya membujuk Luna, atau mungkin menjanjikan membawa kembang itu pulang keesokan harinya.
***
Luna jengkel setengah mati. Setelah meninggalkan Seto, ia masuk ke kamar mandi dan berdiam diri di sana. Tiada gunanya bicara saat ini. Ia bukan tipe perempuan yang bisa merepet seperti kereta api bila dalam keadaan marah. Dadanya bisa sesak dan air matanya bisa tumpah, lalu ucapannya keluar tak beraturan seperti bocah belajar menyumpah. Ia sadar dengan kelemahan terbesarnya itu. Dari pada mempermalukan diri sendiri atau menyinggung perasaan Seto, lebih baik ia mengalah sejenak untuk menenangkan diri.
![](https://img.wattpad.com/cover/207132188-288-k796828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...