Selamat malam minggu, Genks! Kamarana wae?
Kuy vote-nya yaw! BTW, dah lama nggak rutin update pas malming. 🤭🤭
Luna terbungkuk-bungkuk saat memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Setelah kerongkongannya hanya menyisakan rasa pahit, barulah ia merasa lega. Kakinya gemetar ketika dipaksa berdiri. Ia buru-buru menyalakan korek api dan mengisap sebatang rokok yang diambilnya dari dalam lemari, lalu duduk di lantai.
Kata-kata Seto terngiang di telinganya. Bukannya tak ingin menjawab, ia punya segudang jawaban untuk membantah ucapan Seto. Namun, tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Lidahnya kelu. Ia amat ketakutan melihat amarah Seto. Lagipula, bila ia nekat menjawab, bukan tidak mungkin, Seto semakin marah dan mengamuk, seperti yang selama ini dilakukan oleh ayahnya.
Ck, sial! Lelaki keparat itu masih jadi momok menakutkan yang terus membayangi hidupnya.
Luna menyumpahi dirinya yang lemah. Ia persis sama dengan ibunya yang hanya diam meringkuk ketika ayahnya memukul atau menyumpah. Menyebalkan sekali rasanya, gen lemah itu ikut diwariskan kepadanya. Bahkan, Luna terkadang menyesal telah tercipta dari sperma lelaki itu. Tetapi—yang paling sialnya—ia tidak bisa memilih siapa ayah dan ibunya, bukan?
Kata orang, seorang ibu adalah makhluk paling peka dan penuh cinta pada anak-anaknya. Nasib Luna tidak seberuntung itu. Ibunya apatis dan jarang menunjukkan emosinya.
Setelah Seto pergi, barulah ia bermonolog dengan lancar. Ia menjawab semua ucapan Seto. Namun, sudah tak ada gunanya. Lelaki itu sudah pergi.
Luna memutar kepala kran dan mengisi bak mandi sampai penuh, kemudian mandi berlama-lama sampai ujung-ujung jarinya memutih dan keriput.
***
"Sudah lama kau ndak ke sini. Ke mana saja kau?"
"Biasalah, Bang, orang susah kayak aku ngapain lagi kalau bukan nyari duit sampai mampus!" jawabnya ketus.
Pria bernama Barus itu terkekeh. "Bisa aja kau!"
Seto membuka kaos yang menempel di tubuhnya, kemudian meletakkannya di sebuah kursi plastik di sudut ruangan. Ia membalut buku-buku jari dan ligamennya dengan pembalut elastis. Setelah itu, ia beranjak menuju karung samsak.
Ada beberapa wajah yang muncul kala ia memukuli samsak itu dengan penuh emosi. Wajah Rafli, cengiran lebar Gilang, terkadang wajah sangar ayah Luna, dan sesekali wajah pemarah ayahnya. Semakin banyak wajah yang muncul di sana, semakin bersemangatlah ia melayangkan pukulannya.
Tidak satu kali pun wajah Luna muncul di sana. Biar bagaimanapun kesalnya ia pada Luna, pantang baginya memukul perempuan, meski hanya dalam angan dan bayangan.
Bayangan Luna yang meringkuk di atas tempat tidur membuatnya gusar, sekaligus merasa bersalah. Seumur-umur, baru tadi ia memarahi Luna dengan hebatnya, sampai perempuan itu tak bisa menjawab. Itu tandanya dia sangat ketakutan. Seto yakin sekali sempat melihat tubuh Luna gemetar.
Semakin lama, rasa bersalah itu semakin mencekiknya. Ia melepaskan pembalut di tangannya dan memukuli samsak dengan tangan kosong. Katakanlah sebagai bayaran atas kelakuannya menyakiti Luna.
Kulit di buku-buku jarinya lecet serta nyeri. Ia terduduk di lantai kelelahan. Keringat membanjiri tubuhnya. Rambutnya basah.
Dari seberangnya—di mana berjejer beberapa buah treadmill—seseorang memperhatikannya dalam diam. Senyuman malu-malu tersungging di sudut bibirnya.
Seto mengangkat kepala, dan seketika membentak. "Lihat apa kau, bodat?!"
"Ih, Abang galak!" cicit lelaki itu sebelum melipir pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...