Seto mengantarkan ibunya sampai di depan pagar. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Tiara, calon adik iparnya. Gadis itu manis dan sopan. Saking sopannya, Tiara sama sekali tidak berani memandangnya, melainkan terus menundukkan kepala.
Selepas mereka pergi, Seto bergegas kembali ke dalam. Pikirannya bekerja bak benang kusut. Ingin rasanya ia menyumpahi Luna. Entah apa maksud gadis itu sebenarnya. Apakah itu adalah tindakan spontan atau memang Luna diam-diam selama ini naksir dirinya? Namun, rasanya itu juga tidak mungkin. Sikap Luna sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan khusus.
"Lo gila, ya, Na!" bentaknya sembari menyeret Luna masuk ke dalam. "Kenapa lo mau terima permintaan ibu? Lo naksir sama gue?"
"Jangan mimpi gue naksir sama lo!" sambar Luna cepat sambil mendengkus. Mulutnya mengerucut kesal, lalu Luna membuang muka.
"Ya, terus alasannya apa? Lo kebelet kawin?" cecar Seto lagi. Raut wajahnya kesal. "Asal lo tahu, ya. Gue nggak minat kawin sama lo. Kalau lo mau, gue bisa jodohin elo sama teman-teman klub gue. Lo mau bujang lapuk, duda atau brondong, semua ada!"
Luna mengernyitkan dahinya. Kebelet kawin? Tidak juga. Pikirnya, wajar bila Seto marah. Ia memang nekat menganggukkan kepala dan Seto tidak perlu tahu apa alasannya. "Kalau lo nggak mau kita nikah, lo bisa bilang langsung sama Umi. Itu aja kok repot?"
Jawaban santai Luna membuat Seto ingin garuk-garuk tembok. Apalagi ketika melihat tampang tak berdosa Luna. Gadis itu innocent sekali. Seolah pernikahan adalah sebuah permainan belaka.
Seto meremas rambutnya gusar.
"Ibu ini sudah tua, Bang. Ibu hanya ingin anak-anak Ibu berkumpul di rumah. Barangkali kalau Abang menikah, apalagi kalau nanti kalian punya anak, kalian bisa meluluhkan kerasnya hati Bapak."
Lidah Seto mendadak kelu. Ibunya tampak seperti memohon dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, ibunya menyimpan sesak yang sama. Memilih antara anak dan suami adalah sebuah pilihan yang sulit. Bila melawan titah sang suami, maka dosa ibunya akan bertambah. Ah, terkadang perkara dosa itu merepotkan sekali!
Dari sudut pandang ibunya, permintaan tersebut terdengar masuk akal. Terkadang kehadiran cucu dapat meruntuhkan ego orang tua. Contohnya saja, banyak orang tua yang berdamai dengan pernikahan anak-anaknya — yang awalnya tidak mereka restui — setelah melihat wajah polos cucu mereka.
Masalahnya, bagaimana mungkin Seto melakukan proses pembuatan cucu tersebut bersama Luna, bila memandang si perawan tua itu saja darahnya sama sekali tidak berdesir?
For God's sake, they're just friends! Bukan hanya untuk setahun dua tahun, tapi sejak mereka sama-sama baru pandai merangkak. Teman seperti apa yang bernafsu pada temannya sendiri? Hubungan seperti apa yang mereka harapkan?
Seto adalah lelaki dewasa. Ia mengakui, proses pembuatan cucu itu sendiri adalah sebuah kenikmatan duniawi yang tiada tara. Namun, tidak bersama Luna. Yang benar saja!
Ia beralih menatap Luna dengan saksama. Bibirnya tidak menggoda, malah terlihat agak pucat. Sehari-hari, Luna tampil polos. Hanya ketika berangkat bekerja, Luna memoles bedak dan lipstik seadanya. Dua buah jerawat kemerahan menghiasi keningnya. Biasanya jerawat itu muncul menjelang tanggal sepuluh, sebelum jadwal bulanan Luna. Kenapa ia bisa tahu? Karena setiap palang merah itu menghadang, Luna selalu mengeluh sakit perut. Bahkan tak jarang Seto ditelepon malam-malam untuk membelikan Luna obat penghilang nyeri.
Ia tidak berminat sama sekali menggerayangi tubuh Luna. Membayangkannya saja, ia sudah geli sendiri. Bahkan ketika matanya menyapu gundukan sekal di bawah leher Luna, tetap tidak mampu membuat jakunnya bergerak naik turun. Berbanding terbalik ketika ia menjadikan model-model dewasa asal Jepang sebagai bahan fantasinya. Kenapa bukan model dari negeri bule sana? Sederhana saja. Karena kebanyakan dari mereka memalsukan ukuran dengan implan atau suntik silikon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...