Happy satnight, genks! 😘😘😘
"Boleh Ibu ikut dengan Abang?" tanya Diah ragu-ragu sambil memilin jemari di pangkuannya.
Seto terenyuh mendengar pertanyaan ibunya, lalu menyamarkannya dengan kekehan lembut. "Tentu saja boleh, Bu. Masa enggak?"
"Abang nggak marah dengan Ibu?"
"Kenapa Abang harus marah?"
"Ibu sudah ikut menelantarkan Abang."
"Bu," Seto meraih tangan ibunya. "Umur delapan belas tahun sudah tergolong dewasa. Laki-laki sudah pandai bertahan hidup, bahkan banyak yang usianya jauh lebih muda tetap bisa hidup tanpa orang tua. Lagipula, itu adalah buah kesalahan Abang sendiri."
"Ibu takut merepotkan, Nak."
"Enggak, kok."
Diah meringis. Pikirannya melayang pada Luna. Ia tahu, tak ada yang lebih nyaman bagi seorang perempuan melainkan membangun rumah tangga bersama sang suami saja, tanpa direcoki oleh orang tua ataupun mertua, meskipun ia sendiri tahu akan batasannya. "Tapi, bagaimana kalau Luna keberatan—"
"Enggaklah, Bu. Luna pasti senang," potong Seto meyakinkan. Tidak mungkin Luna keberatan bila mereka tinggal bersama. Luna dulunya sangat dekat dengan ibunya. "Tapi Abang minta maaf, ya, Bu. Abang bukan Shaka yang berpenghasilan besar, juga tidak sekeren Shaka yang berpendidikan. Keadaan kami mungkin seadanya saja."
Diah tergugu. "Jangan bilang begitu, Nak. Bagi Ibu, kalian berdua sama saja, nggak ada bedanya."
Seto tersenyum lega.
Selepas Magrib mereka meninggalkan Semarang dengan kereta api dan tiba di Jakarta menjelang dini hari. Seto langsung memesan taksi untuk membawa mereka ke rumah.
Sesampainya di rumah, hanya kegelapan yang mereka dapati. Tidak ada satu pun lampu rumah yang menyala kecuali lampu teras. Yang membuat kening Seto lebih berkerut lagi, tidak nampak keberadaan Luna sama sekali, bahkan bekas kehadirannya pun tidak. Kamar mereka kosong, keadaannya sama seperti saat terakhir kali ditinggalkan. Begitupun dengan dapur, lemari pendingin yang dibersihkan oleh Luna sebelum berangkat juga tak ada isinya.
"Lho, mana Luna?" selidik ibunya heran.
Seto terpaksa membuat alasan setelah berpura-pura mengotak-atik ponselnya sebentar. "Luna menginap di kantor, Bu, katanya lembur."
Karena lelah, Diah tak lagi bertanya, meski alasan putranya terdengar tidak cukup meyakinkan. Sejak kapan kantor pemerintah menyediakan fasilitas menginap bagi para pegawai? Atau mungkin Luna menginap di penginapan dekat kantor agar lebih praktis?
Seto menyimpan koper ibunya di kamar sebelah yang biasanya dipakai oleh Luna untuk menaruh barang-barang. Ia tidak enak hati pada ibunya dan berjanji esok hari akan membeli tempat tidur tambahan. Untuk sementara, ibunya terpaksa tidur di sofa ruang tamu karena beliau pun menolak memakai kamarnya.
Setelah ibunya membaringkan diri, Seto beranjak ke kamar. Ada rasa kosong dan tidak nyaman di dalam hati. Ia menelepon Luna, tetapi nomornya masih mati.
Kepalanya pusing sekali. Sebuah tanda tanya besar bercokol di kepalanya. Seto susah payah mengabaikan berbagai spekulasi yang berkeliaran di benaknya. Apakah benar Luna minggat bersama Shaka seperti tuduhan ayahnya? Atau kini Luna bersama Rafli?
Elo di mana, Na?
Sebuah firasat melesat selintas saja, bahwa Luna tidak baik-baik saja. Kapan terakhir kali firasat seperti itu muncul? Entahlah, ia tidak ingat.
***
Keesokan harinya, nomor ponsel Luna masih mati. Ibunya yang curiga mencecar Seto dengan berbagai pertanyaan setelah mereka menyelesaikan sarapan pagi yang dibeli Seto di warung.
![](https://img.wattpad.com/cover/207132188-288-k796828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...