"Dua orang dapat tidur di ranjang yang sama dan masih akan sendirian ketika mereka menutup mata," – Haruki Murakami, Hard-Boiled Wonderland and the End of the World
"Kenapa dulu lo menolak masuk pesantren?" Luna bertanya pada Seto. Mereka tengah duduk di atas tanah di bawah batang pohon rambutan di samping rumah Seto. Sampah dedaunan kering berserakan di bawah kaki mereka.
Seto berdecak. "Cita-cita gue jadi engineer, Na, bukan jadi ustadz."
"Memangnya tamat dari pesantren nggak bisa jadi engineer? 'Kan lo bisa kuliah lagi?"
"Iya, sih. Tapi ... gue nggak berminat. Lo 'kan tahu, di sana itu mata pelajarannya banyak banget. Bisa keriting otak gue!"
Luna hanya tersenyum. Seto mati-matian menolak keinginan ayahnya masuk ke sebuah pesantren terkenal di luar kota. Kini alasan Seto terdengar masuk akal. Memang mata pelajaran di sana banyak sekali. Untuk anak seperti Seto yang mood belajarnya angin-anginan itu, belajar di pesantren adalah siksaan berat. Padahal otaknya lumayan encer.
Seto sendiri mungkin tak kan pernah tahu. Alasannya menolak masuk pesantren bukan sekadar bosan karena terus disetir oleh tingkah otoriter ayahnya. Demi bersekolah di SMA biasa ia harus diganjar puluhan sambitan ikat pinggang di kakinya. Ada alasan lain di alam bawah sadarnya yang lebih krusial dari itu, tetapi ... apakah itu?
Entahlah.
***
Seto menutup bengkelnya lebih cepat. Wajahnya berseri-seri. Luna pulang hari ini. Ia ingin tahu ekspresi dan pendapat Luna setelah seharian kemarin sibuk berbenah rumah dengan mengganti sofa dan tempat tidur mereka, serta membeli televisi baru. Bukan hanya itu, ia mendaftarkan pemasangan jaringan internet yang sepaket dengan TV kabel berbayar, agar mereka punya hiburan lain selain berkutat dengan ponsel.
Tadi pagi ia membantu menyiram tanaman Luna dengan takaran sama banyak dan sama rata. Ucapan Luna tentang takaran air yang berbeda untuk masing-masing tanaman tidak melekat di benaknya. Yang penting ia telah menyiramnya, maka urusan selesai.
Setibanya di rumah, bukan ekspresi senang Luna yang ia dapatkan, melainkan wajah kuyu dan letih. Perempuan itu termenung di meja makan. Tatapan matanya menerawang, bahkan mungkin Luna tidak mengetahui kepulangannya sama sekali. Secangkir teh hangat terhidang di hadapannya.
"Pulang jam berapa, Na?" tegurnya.
"Eh," Luna terperanjat. "Lo sudah pulang? Jam empat," sambungnya tanpa semangat.
Seto menarik kursi di hadapan Luna. Tak ingin berlama-lama, ia masuk ke dalam topik utama. "Gimana menurut lo?"
Luna mengangkat kepala. "Apanya?"
"Lo suka perabotannya? Ada yang kurang?"
"Suka," jawab Luna singkat dengan senyum terpaksa, nyaris seperti ringisan.
"Terus?"
"Terus apanya?"
"Lo nggak ada komentar?"
Luna menghela napas. "Hmm ... itu, seharusnya lo ngomong dulu sebelum beli, To."
"Kenapa? Lo nggak suka warnanya? Atau modelnya? Kata yang punya toko, nanti bisa ditukar, kok." Seto memberondongnya dengan pertanyaan.
"Bukan begitu," katanya letih. "Gue harus bayar berapa?"
"Bayar?" Seto mengerutkan dahinya. "Kenapa lo harus bayar?"
"Kita ... belinya patungan, kan?"
"Nggak pakai acara patungan segala." Seto berdecak, "Gue mencairkan cek pemberian Bang Al bulan lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...