22. Chaos

5.1K 1K 284
                                    

"Seto!"

Seto yang sedang bersama Rangga pun menoleh. Ia terkejut, tetapi segera menyamarkannya dengan senyuman kecut saat terpaksa menyambut teman SMA-nya itu. "Gilang? Lo ada di sini juga?"

"Iya, kebetulan pengantin prianya adik tingkat gue di kampus. Apa kabar, To?" kata Gilang sembari mendekat dengan piring prasmanan yang telah terisi di tangannya.

Seto mengedikkan bahu. "Ya, beginilah."

"Ngomong-ngomong, kenapa lo nggak pernah menghubungi gue?"

"Aduh! Sorry banget, Lang, kartu nama lo hilang." Seto pura-pura menepuk keningnya. Padahal, beberapa kali pula ia mengabaikan telepon dari Gilang. Bila pria itu bertanya nanti, mungkin sebaiknya ia berdalih, tidak suka atau jarang mengangkat telepon dari nomor yang tidak terdaftar dalam daftar kontaknya.

Sepertinya Gilang tidak mempermasalahkannya. "Pantesan. Lo ke sini dengan siapa?"

"Gue bareng Luna."

"Oh, ya?" Mata Gilang seketika berbinar. Lagipula, tidak mungkin Seto hadir di pesta anak pejabat Inspektorat bila bukan Luna yang membawanya. "Mana dia?"

"Tuh!" Seto menunjuk rombongan Luna dengan dagunya. Rasa tidak nyaman kembali menggelitik perutnya. Sebaiknya, ia berterus terang kepada Gilang. Namun, ketika hendak buka mulut, Gilang mengajaknya duduk mengelilingi sebuah meja. Beberapa rekan kantor Luna yang ia kenal ikut duduk bersama mereka. Seto terpaksa mengurungkan niatnya.

Sembari makan, mereka bernostalgia mengenang kekonyolan di masa SMA. Gilang pun tampaknya menahan diri untuk tidak banyak bertanya tentang Luna. Mungkin nanti, ia bisa mencegat Luna sebelum pulang, sekadar berbasa-basi atau menanyakan kabar sebagai langkah awal.

Setelah menyelesaikan hidangan pencuci mulut, tiba-tiba Seto mendengar nama Luna dipanggil melalui pengeras suara. Ia sontak menoleh. Keningnya berkerut saat mengenali Rafli di atas pentas. Musik yang dibawakan penyelenggara acara telah sepenuhnya berhenti.

Melalui sudut matanya, ia mengiringi langkah Rafli turun dari atas pentas menuju rombongan Luna. Tidak sampai satu menit, keduanya dikerumuni massa yang penasaran. Istrinya pun hilang dari pandangan.

"Ada apa, ya?" Gilang ikut penasaran.

"Ada lamaran dadakan, Om," celetuk Rangga ikut berdiri dari tempat duduknya.

Seto mengernyitkan dahi. "Lamaran dadakan?"

"Mami bilang, sih, begitu."

"Siapa yang dilamar?"

Laki-laki berusia sembilan belas tahun itu menggeleng. "Saya kurang tahu, Om."

Perasaan Seto tidak enak, teringat dengan binar mata Rafli yang berbeda kala menatap Luna pagi itu, ketika Seto mengantar Luna yang hendak pergi dinas ke luar kota.

Tak lama kemudian, terdengar sorak-sorai para tamu. Apalagi ketika ia mendengar sendiri, Rafli melamar Luna di depan kerumunan dengan lantang, memakai pengeras suara pula.

Emosinya seketika naik. Ia mengempaskan piring yang tengah dipegangnya ke lantai, setelah itu bergerak menyibak kerumunan untuk mencari Luna. Sementara Gilang ikut mengiringi dari belakang.

Di depan sana, Luna tampak terpaku menatapnya dengan wajah pias dan ekspresi ketakutan. Sementara ekspresi Seto sendiri tak bisa dijelaskan, mungkin saat ini wajahnya merah padam, saking panasnya bara di kepalanya. Terjawab sudah kenapa Maya tampak mempertanyakan kehadirannya di pesta itu, seolah ia bukanlah pasangan Luna, hanya sebagai sahabat seperti biasanya. Sepertinya tak seorang pun rekan-rekan sekantor Luna yang mengetahui pernikahan mereka. Ya, tampaknya begitu.

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang