29. Uneasy

5.4K 1.1K 204
                                    

Adakah yang kangen padaku? #ehh 🏃‍♀️🏃‍♀️
Btw, siap2 yak, insyaallah Februari ini Costha open PO. Sudah nabung belum? 😍😍

***

Malam itu, Luna tidur pulas sekali. Entah kapan terakhir kalinya ia tidur tanpa terganggu oleh mimpi-mimpi. Mungkin karena merasa nyaman dengan pelukan sang suami. Ia juga sudah lupa kapan terakhir kali dipeluk oleh orang lain selain Seto, orang tuanya, misalnya. Mungkin saat masih bayi atau balita, di mana ingatannya sudah terkikis oleh masa dan goresan luka.

Pagi harinya, Luna terlambat bangun, sedangkan Seto sudah bangun terlebih dahulu. Anehnya, Seto tidak membangunkannya. Pria itu malah sibuk dengan ponselnya, lalu tersenyum manis saat Luna membuka mata.

Akibatnya, Luna tidak sempat memasak. Sesekali ingin juga rasanya, ketika bangun tidur sudah ada sarapan tersedia di atas meja. Bukankah romantis bila seorang suami turun ke dapur dan istrinya berlagak bak ratu sehari? Namun, ia tidak mau repot-repot berharap kepada Seto. Padahal, apa sulitnya membuat dua porsi nasi goreng?

Dengan malas ia pergi ke warung untuk membeli dua porsi bubur ayam. Rasa malas itu bukannya tanpa alasan. Biasanya, warung bubur itu dipenuhi ibu-ibu yang ikut membeli sarapan. Sayangnya lagi, begitu sampai di sana, sudah ada Bu Ani dan gerombolan 'Si Nyinyir' lainnya. Luna ingin berbalik pulang, tetapi mereka sudah telanjur melihatnya. Ia tidak mau lari seperti pengecut, malah datang dengan dagu terangkat.

Tatapan Bu Ani menyasar perut Luna yang masih datar. "Aneh, perutmu, kok, nggak besar-besar juga, Na?"

"Iya ya, jangan-jangan keguguran?" bisik seorang perempuan lain yang sayangnya masih terdengar di telinga Luna.

Luna diam saja. Bisik-bisik miring itu terdengar semakin jelas. Energinya bisa habis untuk meladeni mereka. Ia malah bergegas meminta dua porsi bubur ayam kepada pemilik warung.

"Jangan-jangan kamu memang nggak hamil, ya? Gimana sekarang? Udah isi belum?" cecar yang lainnya.

"Ambil saja kembaliannya, Bu!" kata Luna setengah berteriak pada pemilik warung saat menerima dua porsi bubur miliknya. Ia membalikkan badan setelah pamit pada Bu Ani, "Permisi."

"Hamil di luar nikah aja belagu!" sindir Bu Ani lagi.

Luna naik pitam. Ia membalikkan badannya. "Saya bukan malaikat, lho, ibu-ibu. Saya nggak sudi mendoakan kebaikan untuk membalas mulut-mulut jahat seperti kalian. Hah, rugi amat! Tapi, masing-masing dari kalian punya anak perempuan, kan? Semoga suatu hari nanti tuduhan kalian kepada saya justru berbalik pada keturunan kalian. Doa orang teraniaya biasanya manjur, lho, ibu-ibu. Selamat pagi."

Mereka terperangah, lalu saling berpandangan satu sama lain. Mungkin tidak menyangka Luna akan melawan, karena biasanya dia hanya diam.

Luna menggeluyur pergi. Setibanya di rumah, ia menutup pintu masuk dan bersandar di sana dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdetak lebih kencang. Namun, senyuman puas tersungging di bibirnya.

"Lo kenapa, Na?" Seto menghampiri dengan kening berkerut.

Luna menceritakan kejadian barusan.

Seto mengangkat kedua jempolnya. "Nah, gitu dong. Sesekali lo harus melawan. Masa istri mantan preman penakut, sih?"

Luna tidak menjawab. Seto benar. Seharusnya sudah sejak lama ia angkat bicara, bukan menyimpan gerutuan di dalam hati saja.

Ia tidak akan pernah menyangka, keberaniannya barusan dapat memutus mata rantai perundungan tersebut. Sejak hari itu, tidak ada lagi yang berani bermulut julid kepadanya secara terang-terangan.

***

Seto melepas Luna dengan berat hati. Ia mengantarkan Luna ke kantor. Di parkiran, ia mengeluarkan koper kepunyaan Luna dari dalam mobil kodoknya. Setelah itu, tiba-tiba ia memeluk Luna erat-erat.

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang