Haaai!
Interlude sudah dikirim semua ya, genks. Bagi yang paketnya belum sampai boleh inbox untuk mendapatkan nomor resi pengiriman.
Thank you 😘😘😘
***
Seto tidak tahu entah apa yang membisikinya sampai ia kalap dan berbuat nekat. Laki-laki di depannya hanya bisa terpaku dengan wajah seputih mayat. Ekspresinya berangsur panik. Sementara anaknya menjerit-jerit. Seto terpaksa mengancam anak itu agar tak bersuara. Anak itu menurut, mengganti jeritannya menjadi rengekan ketakutan sekaligus sedu sedan.
"Tolong jangan sakiti anak gue, To!"
"Bayar utang lo!" tambah Seto mengancam. Rasanya seperti terseret ke pusaran kejahatannya di masa lalu. "Dan jangan coba-coba nekat, Bang, lo tahu sendiri akibatnya, gue bisa lebih nekat lagi," tukasnya sambil mengeratkan pitingannya ke tubuh si anak melihat laki-laki itu bergelagat menyentuh ponsel di dalam saku celananya.
Benar perkiraan Seto, anak adalah titik terlemah bagi orang tuanya. Hanya manusia kurang ajar yang tidak tergugah nuraninya melihat anaknya disakiti.
Reaksi laki-laki itu seperti antiklimaks. Adrenalin Seto yang tadinya terpacu perlahan surut kala laki-laki itu menjawab dengan terbata-bata, "I–iya, To, sabar. Gue ambil dulu duitnya."
Laki-laki itu tergopoh-gopoh menghilang dari pandangan Seto dan kembali hanya dalam hitungan detik kemudian dengan membawa segepok uang berwarna merah dan biru. Dua orang lansia yang sudah beruban ikut mengiringi di belakangnya. Wajah keduanya tak kalah pucat. Namun untungnya, keduanya tidak bersuara saking takutnya, hanya mengkeret dengan bibir bergetar mengiba. Dan Seto harus membunuh nuraninya yang tersentil saat melihat pemandangan tersebut demi bertemu Luna.
"I–ini duit buat umrah orang tua gue, To," kata laki-laki memelas nyaris mencicit saat meletakkan uang itu di atas meja di depan Seto.
"Lo pikir gue peduli?" sahut Seto sinis. Nyaris tidak ada drama. Seto bisa bernapas lega. Terkadang ia berpikir, orang yang memiliki utang bukannya tidak punya uang untuk membayar utangnya, tetapi terkesan memaksa agar orang yang mempiutangi mengikhlaskannya. Enak saja!
"Tolong lepasin anak gue."
Seto tidak mau gegabah. Ia memiting leher anak itu dengan lengannya sambil bergegas mengemas tumpukan uang tersebut ke dalam saku celana kargonya tanpa perlu repot-repot menghitungnya terlebih dahulu—yang penting bukan uang palsu. Setelah memastikannya aman, ia mendorong punggung anak itu ke ayahnya.
Anak itu meraung. Ayahnya memeluknya sambil mengembuskan napas lega.
"Jangan sampai kejadian ini berlanjut ke polisi. Kalau enggak, lo tahu sendiri akibatnya. Walaupun gue berada di balik jeruji besi, gue tetap bisa menghabisi nyawa kalian satu persatu," gertaknya sambil menunjuk orang-orang yang ada di ruangan itu dengan jari telunjuknya. Jangan menyebutnya mantan preman bila tidak mampu membuat mereka ciut nyalinya.
Laki-laki itu mengangguk patuh. "I–iya."
Seto mendengus sebelum pergi, "Masih untung gue nggak minta bunganya, Bang. Kalau iya, kelar hidup lo!" katanya sambil menunjukkan isyarat potong leher dengan belatinya.
***
Seto menyetor uang—hasil jarahannya—ke ATM setor tunai terdekat dan menyisakan uang tunai secukupnya. Setelah itu, ia bergegas pulang dan mengemas keperluannya untuk beberapa hari ke dalam ransel.
Pukul tiga sore Seto bertolak ke bandara. Di dalam perjalanan ia memesan tiket pesawat yang tersisa, berbekal kemudahan akses di dunia digital di mana setiap orang mau tidak mau harus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...