Running away from everything can also be running toward something.
"Shaka?" Luna ternganga, kemudian celingukan mencari sosok lain di balik punggung Shaka. "Kamu ngapain di sini?"
Shaka tidak menjawab, melainkan mengempaskan bokongnya di kursi kosong di samping Luna setelah memindahkan ransel ke depan tubuhnya.
"Santai saja, Kak. Aku sendirian, kok. Ayo, beri aku ucapan selamat, Kak. This is the happiest day on earth for me. I'm freeee ... YEAAAH!!!" teriaknya seperti orang kesurupan. Kedua tangannya terangkat meninju langit. Matanya berbinar senang.
Beberapa orang sontak menatap heran ke arah mereka berdua. Luna beringsut menjauhi Shaka seolah berkata pada dunia bahwa mereka tidak saling kenal satu sama lain. Dasar sinting!
"Kakak mau kabur?"
"Enggak." Luna membuang muka, malu bila ketahuan. Selain itu ia ingin menyembunyikan mata sembabnya dari Shaka. Ia bertanya-tanya dalam hati dari mana Shaka mengetahui keberadaannya. Apakah Shaka mengikutinya?
Beberapa detik kemudian, ia mengabaikan pertanyaan itu. Mungkin pertemuan mereka hanya kebetulan.
Sejujurnya, tidak banyak yang dapat Luna ingat mengenai Shaka. Keluarga mereka pindah saat Shaka masih berseragam putih merah. Dulunya, bocah itu suka mengekori abangnya ke mana pergi.
"Terus?"
"Aku mau balik ke Jakarta. Ada pekerjaan penting."
"Oh."
"Kamu nggak jadi bertunangan?" Luna tak mampu menahan rasa penasarannya.
Shaka terkekeh. "Biarkan saja Bapak yang bertunangan dengan Tiara. Kali aja Tiara mau sama aki-aki."
Luna melongo. Shaka tertawa terbahak-bahak melihat ekspresinya.
"Sudahlah, Kak. Jangan dipikirkan. Ya ampun, aku kayak merasa baru bebas dari neraka jahanam!" Ia membuka resleting ranselnya, kemudian mengambil dua buah masker berwarna biru dari dalamnya dan memberikan salah satunya kepada Luna. "Buat jaga-jaga."
Luna menerimanya dengan bingung. Tanpa pikir panjang ia ikut memasang masker tersebut setelah melihat Shaka melakukannya. Laki-laki itu menutup kepalanya dengan tudung hoodie. Penampilannya berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan sebelumnya. Bila semalam Shaka tampil sebagai pria dewasa, kali ini Shaka seperti remaja alay yang kebanyakan gaya. Celana jeans rombeng yang dikenakannya kedodoran. Apalagi hoodie berwarna pink cerah itu membuat Luna ingin tertawa. Seriously? Namun, laki-laki itu terlihat tidak nyaman, terbukti beberapa kali Shaka menarik pinggang celananya ke atas.
Shaka meringis seperti mampu membaca isi kepala Luna, lalu berbisik, "Ini namanya penyamaran, Kak. Keren, kan?"
Luna mendengus. "Keren apanya? Kayak bocah alay!"
"Itu artinya aku sukses." Shaka tersenyum sendiri membayangkan ekspresinya saat membeli hoodie berwarna pink itu di toko pakaian. Sudah sejak jauh-jauh hari ia ingin kabur, dan perkataan abangnya semalam semakin menguatkan tekadnya. "Kakak pasti belum sarapan," tebaknya.
Luna mengangkat bahu. Perutnya tidak lapar.
"Ayo ikut, aku tahu tempat sarapan yang enak."
"Eh? Nggak usah," tolak Luna sungkan. Ia tidak mau melibatkan diri dalam—apa pun itu—rencana Shaka. Sudah cukup ia dibuat gerah oleh ayah Shaka yang sialnya masih harus diakuinya sebagai ayah mertuanya.
Namun, Shaka tidak menerima penolakan. Ditariknya ujung lengan baju Luna hingga Luna terpaksa berdiri.
Mereka berjalan kaki sambil menyandang ransel di punggung. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah kedai sarapan tidak jauh dari stasiun. Shaka memesan seporsi mie kopyok serta teh manis hangat, begitupun dengan Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...