37. Mirror

5.4K 1.1K 349
                                    

Anak-anak adalah entitas yang terpisah dan mumpuni, yang memiliki selera, kesenangan dan pengalaman mereka sendiri mengenai dunia — Pamela Druckerman.

"Jangan tinggalin gue, To ...."

Seto tersentak. Raut wajah Luna yang terluka seketika membayang di pelupuk mata. Waktu yang serba singkat membuatnya terpaksa berpikir kilat. Ia membalikkan badannya sambil menantang mata ayahnya. Permintaan tidak masuk di akal itu membuatnya muntab. Ia pikir, bilapun orang tuanya bercerai, ia akan melakukan apa saja untuk membuat ibunya tidak hidup berkekurangan. "Pak—"

Belum sempat ia bicara, sang ibu mendekat dengan dagu terangkat. "Maaf, Pak. Tapi kali ini Ibu lebih memilih bersama anak-anak daripada bersama Bapak."

Hakim memucat. "Bu!"

"Kemasi barang-barangmu, Bang. Kita pergi dari sini." Diah menyeret lengan putra sulungnya menjauh. Air matanya berlinang. Sungguh ia tidak menyangka, rumah tangga yang ia pertahankan selama puluhan tahun harus berakhir di usia yang sudah menjelang senja karena ulah egois suaminya.

Adik iparnya mendekat dengan raut memelas. "Mbak," tegurnya lemah. 

"Uruslah masmu yang berkepala batu itu, Lastri. Mbak sudah tidak sanggup lagi. Ayo, Bang!"

Seto bergegas mengambil koper dari kamarnya dan menyeretnya keluar. Untung saja ia belum sempat membongkar barang-barangnya. Setibanya di luar kamar, ia menunggu ibunya sambil memesan kendaraan secara online dan memberitahukan alamat rumah itu lewat telepon.

Tidak ada yang berani menghentikan mereka. Semuanya terdiam seperti patung, serba salah dalam melangkah. Wajar saja, siapa yang sanggup membantah perintah ayahnya? Laki-laki itu adalah si sulung di antara adik-adiknya.

Hanya butuh waktu beberapa menit, ibunya keluar dari kamar sambil menyeret sebuah koper kecil. Bertepatan dengan itu, terdengar deru samar kendaraan yang dipesan sudah sampai di depan rumah. Diah melirik lemah pada suaminya yang duduk terpekur menatap lantai. Bahu lelaki itu merosot.

Seto mengambil alih koper milik ibunya. Diah menggandeng lengan putranya itu dan berbalik pergi tanpa menoleh lagi.

Mereka menempuh perjalanan tanpa bicara. Saat memesan kendaraan tadi, Seto sengaja mengarahkan tujuan ke hotel terdekat. Mereka perlu menenangkan diri terlebih dahulu, berpikir jernih dengan kepala dingin.

Sementara itu, tatapan mata ibunya kosong. Setiap helaan napas yang Seto ambil membuat sudut hatinya nyeri sekali. Kedatangannya jauh-jauh ke sana hanya berujung malapetaka.

***

Sesampainya di hotel, Seto meminta ibunya tidur sebentar karena ibunya mengaku sakit kepala. Sementara ia memandang dari seberang tempat tidur dengan tangan terlipat di perutnya.

Terlihat raut lelah di wajah yang sudah menua itu. Kerutan di bagian sudut mata terlihat jelas. Namun, wajah ibunya masih memancarkan aura lembut dan ayu. Bayangan masa kecil dalam asuhan sang ibu melintas di ruang mata. Lebih dari tiga puluh tahun ia hidup, mungkin tak satu kali pun bakti ia sematkan dalam membalas jasa, malah ia telah menorehkan luka yang mencoreng muka kedua orang tuanya dan takkan sanggup ia hapus seumur hidupnya. Seperti kata pepatah, sesal kemudian tiada gunanya.

Pikirannya kusut. Nomor ponsel Luna masih mati.

"Bang?" Ibunya mengerjap membuka mata.

Seto tersenyum tipis. "Ibu sudah bangun?"

Diah bangkit dari tempat tidur. "Abang sudah makan?"

"Belum, Bu. Sebaiknya Ibu mandi dulu. Nanti kita turun untuk makan siang."

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang