"A child that's being abused by its parents doesn't stop loving its parents, it stops loving itself." — Shahida Arabi.
"Dari mana kamu? Jam segini masih keluyuran di luar?" tegur ayah Seto kala Luna baru menginjakkan kaki di teras rumahnya. Laki-laki itu tampaknya baru pulang dari masjid. Sebuah kain sarung tersampir di pundaknya.
Luna tergagap. "Dari—"
"Anak gadis tidak baik di luar rumah malam-malam. Mau jadi apa kamu? Mau jadi perempuan binal yang menjajakan tubuhnya di usia belasan?"
Luna terperangah. Saking syoknya, ia hanya berdiri mematung di tempatnya. "Saya nggak—"
"Nggak ada perempuan baik-baik yang keluyuran pukul sepuluh malam! Masuk sana!"
Napas Luna seolah tercerabut dari akarnya. Hatinya sakit sekali mendengar bentakan laki-laki itu. Apakah setiap gadis yang pulang malam bisa disebut sebagai perempuan binal? Salahkah bila ia mencari uang jajan untuk mengikuti study tour di sekolahnya dengan menawarkan jasa menyetrika pakaian bagi para tetangganya?
Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Air matanya menggenang. Di dalam hatinya mendongkol setengah mati. Ingin ia menjawab, tetapi seluruh perkataannya tersangkut di tenggorokan.
Sepertinya laki-laki itu lupa, tidak semua anak beruntung lahir dalam keluarga berkecukupan. Sebagian besar dari mereka harus mengais mencari rezeki di usia masih sangat belia, bahkan sekadar untuk mencari makan.
Seperti namanya, Hakim, laki-laki itu hanya bisa memberikan penghakiman tanpa berniat mendengarkan penjelasan.
Memuakkan!
***
Seto mengusap-usap kepala Luna yang terlelap dalam pelukannya. Matanya tak bisa terpicing. Ia hanya pura-pura memejamkan mata saat Luna mengajaknya berbaring.
Setelah bertangisan tadi, dadanya terasa lebih lapang. Mereka memutuskan menyambut hari esok dengan bersikap masa bodoh, setidaknya sampai acara pertunangan Shaka selesai demi menjaga perasaan ibunya. Setelah itu, mereka akan pulang ke Jakarta atau mencari destinasi lain sesuai isi dompet karena Luna mengambil cuti cukup lama, dua belas hari kerja.
Seto tidak yakin betah berlama-lama di rumah orang tuanya. Ia bahkan tidak perlu repot-repot berharap itu adalah rumahnya. Tidak ada kehangatan ia temukan di sana. Atau sedari dulu pun mungkin sudah begitu, ia tidak tahu di mana rumahnya yang sebenarnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, lalu keluar dari kamarnya menuju kamar Shaka yang terlihat masih terang benderang.
Sebuah suara menyuruhnya masuk setelah ia mengetuk pintu.
"Abang?" tegur Shaka begitu Seto melongokkan kepalanya di celah daun pintu yang terbuka.
"Belum tidur, Ka?" Seto menutup pintu di belakangnya. Shaka menghadap sebuah laptop yang menyala di atas meja. Seto duduk di pinggiran tempat tidur.
"Belum, Bang. Ada kerjaan dikit." Shaka menutup laptopnya lalu menghampiri kakaknya dengan langkah gontai.
"Kenapa tampangmu kuyu begitu?" ledek Seto heran. Shaka tidak kelihatan berbahagia layaknya seorang pria yang hendak menyongsong pertunangannya. Tak ada gairah hidup terpancar di wajahnya.
Shaka menengadahkan kepalanya menghadap langit-langit. "Capek, Bang."
"Ada apa?" selidik Seto penasaran. Ia tidak yakin dengan jawaban adiknya. Kebiasaan Shaka yang menyembunyikan ketidakjujurannya dengan menunduk atau menengadahkan kepala masih saja sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...