Marriage is a journey for two people on one boat.
Menjelang subuh, Luna terbangun. Matanya masih setengah mengantuk. Ia meregangkan otot-ototnya yang kaku dan tiba-tiba terlonjak melihat seorang pria bergelung di sampingnya.
Luna panik mencari belatinya. Jantungnya berdetak cepat.
Saat menanggalkan sarung belati itu, ia baru tersadar bahwa itu hanyalah Seto.
Luna menepuk-nepuk dadanya sendiri. Semburat merah kembali menjalar di wajahnya. Gigilan di tubuhnya perlahan berhenti.
Sialan!
Rasanya aneh. Ia terbiasa sendirian. Kini harus berbagi rumah dengan Seto, bahkan harus berbagi tempat tidur segala. Ia berharap semoga saja semalam tidak tidur mendengkur. Well, belum pernah ada yang komplain dengan pola tidurnya. Ketika ia ikut pelatihan atau dinas di luar kota, teman sekamarnya tak ada yang mengeluh. Atau ... belum?
Luna beranjak ke dapur. Bahunya merosot menatap piring kotor di wastafel. Semalam, ia sengaja menunda mencucinya, tapi tak menyangka tumpukannya akan sebanyak itu.
Selesai mencuci piring, ia mengais-ngais sisa sayuran dan bumbu dalam lemari pendingin. Tak banyak yang tersisa di sana sejak malas memasak melanda. Ia membuat empat porsi nasi goreng dari nasi sisa hajatan kemarin. Dua porsi untuk sarapan, satu porsi untuk dibawa ke kantor, sedangkan satu lagi untuk Seto, mungkin dia ingin membawa bekal ke bengkelnya.
Luna sendiri perlu banyak belajar menyesuaikan diri dan berpikir panjang tentang rencana ke depan. Rumah tangga seperti apa yang akan mereka jalani, sama sekali belum terpikir di benaknya. Inilah akibatnya kalau terburu-buru mengambil keputusan. Otaknya buntu.
"Hello, Isteriku."
"Hah?!" Luna terlonjak. Jantungnya seakan mau copot. Ia seketika memutar tubuhnya mendengar sapaan tersebut.
Tampak Seto menyandar malas di daun pintu. Rambutnya mencuat berantakan, tapi mukanya sudah segar setelah salat subuh. Bibirnya menyeringai jahil dan binar matanya tengil sekali.
Sialnya, terasa ada yang aneh. Perasaan Luna tiba-tiba menghangat.
"Biasa aja kali, Na. Nggak usah baper begitu." Seto mendekati Luna, lalu mengacak-acak rambutnya.
Oh, okay!
Kaki Luna kembali menginjak bumi. Ia menunduk menyembunyikan rona di pipinya.
"Nggak ada kopi?" sambungnya setelah duduk di kursi makan.
"Bikin sendiri sana. Gue nggak tahu takaran kopi lo."
"Belajar, Na. Gulanya dua sendok, kopinya satu sendok."
"Udah, kok, tapi lo rewel melulu!" Seto punya selera yang aneh. Tiap kali Luna membuatkan kopi, selalu tidak pas di lidahnya. Mungkin ia harus menyiapkan timbangan digital terlebih dahulu agar takarannya tidak meleset.
"Apa gunanya punya isteri kalau kopi pun harus bikin sendiri," Seto menggerutu. Ia malas-malasan bangkit mencari cangkir bersih serta kopi hitam dan gula pasir. "Kopinya mana?"
"Di lemari." Luna hanya sesekali mengkonsumsi kopi, ketika banyak pekerjaan yang dibawa pulang, atau lembur mempersiapkan paketan, misalnya.
"Air panasnya mana?"
"Masak sendiri. Tuh, ada panci." Luna menunjuk ke deretan panci dan wajan yang tergantung di dinding.
"Bukannya lo punya dispenser?"
"Listriknya mahal."
"Astaga! Perhitungan amat, sih?"
Luna tak menjawab. Ia malah bergegas mencari ember plastik untuk menyiram tanamannya sebelum mandi dan berangkat ke kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...