Pengalaman hidupmu, apakah menjadikanmu lebih kuat atau malah menjadikanmu hancur?
"Gue nggak yakin bisa nerusin sekolah, To. Kayaknya gue berhenti saja."
"Kenapa?"
"Ibu nggak mau bayarin kebutuhan gue."
"Kan lo dapat beasiswa, Na?"
"Beasiswa berapaan, sih, To?" kata Luna sendu. Memang benar, berkat usaha Umi Diah, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa bagi anak-anak kurang mampu. SPP-nya digratiskan. Ia juga menahan diri untuk tidak ikut jajan di kantin, bukan karena tidak mau, tetapi memang tidak dibekali uang sepeser pun. Namun, ia tetap harus mengeluarkan uang untuk membayar LKS atau fotocopy bahan pelajaran dan lain-lain.
Ibunya berpendapatan kecil. Mereka bisa makan tiga kali sehari saja sudah syukur. Perempuan itu lebih suka menyetor sisa pendapatannya pada sang suami untuk dihabiskan di meja judi. Luna sampai berpikir, ibunya adalah perempuan paling tolol di muka bumi!
"Gue malu sama Umi. Masa Umi melulu yang bayarin keperluan gue?"
"Nggak apa-apa, Na. Toh, Umi ikhlas, kok."
"Tapi mau sampai kapan, To?"
"Nggak tahu. Sampai Umi bosan, mungkin," jawab Seto sambil nyengir.
Luna merengut, sedangkan Seto tertawa kecil.
"Lo tahu Adolf Hitler, kan, Na?" ucapnya tak lama kemudian.
Luna mengangguk. Siapa yang tidak mengenal diktator NAZI di masa Perang Dunia II itu? "Kenapa dengan Hitler?"
"Hitler itu hidupnya nggak mudah, lho, Na. Bapaknya juga abusive. Saudaranya banyak, kalau nggak salah ada lima atau enam."
"Terus?"
Seto merangkul bahu Luna. "Hitler yang hidupnya nggak mudah aja, berkat tekad dan kemauannya berhasil jadi kanselir Jerman. Seluruh daratan Eropa menakutinya. Elo tuh pintar, Na. Jangan menyerah dengan hidup. Masa depan kita siapa yang tahu?"
Luna hanya terkekeh. "Lo tahu apa cita-cita gue, To?"
"Apa?"
"Gue pingin punya uang banyak, biar bisa bayar pengacara."
Seto mengerutkan dahi. "Pengacara? Buat apa?"
"Biar ibu bisa cerai sama laki-laki tak berguna itu!"
Hening. Seto tertegun. Sejurus kemudian, tangannya mengacak-acak rambut Luna. "Kata ustadz, nggak boleh nyuruh orang cerai, Na. Dosa!"
Luna tersenyum getir. "Peduli setan sama dosa, To! Toh, Tuhan pun kayaknya nggak ada sayang-sayangnya sama gue!"
Seto tak akan pernah tahu, ucapan sepintas lalu tentang kisah hidup Adolf Hitler melekat sempurna di benak Luna. Setamatnya SMA, ia diterima bekerja di sebuah pabrik di kawasan Bekasi. Begitu menerima gaji pertamanya, ia malah melipir ke toko buku, mencari buku yang pernah disebut-sebut oleh Seto, Mein Kampf.
Ia menemukannya di sebuah toko buku bekas. Sayangnya, buku karangan sang bapak NAZI tersebut belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Ia menghabiskan waktu tiga bulan melahap Mein Kampf di tengah keterbatasannya berbahasa Inggris, sehingga harus rutin membolak-balik kamus Inggris-Indonesia sampai lecek.
Selesai membaca buku tersebut, semangat hidupnya kembali berkobar. Satu tekadnya yang mengakar adalah ... ia harus kuliah!
Bagaimanapun caranya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...