24. Double Kill

6K 1.1K 360
                                    

"Lo tahu nggak, apa kepanjangan dari perkedel?" Seto mencomot perkedel yang masih panas dari piringnya. Bibirnya maju mundur, meniup-niup perkedel itu agar cepat dingin.

Luna yang sibuk di depan penggorengan pun menjawab, "Nggak tahu, apa memangnya?"

"Persatuan kentang dan telur."

"Iya, kah?"

Seto mengangguk. Kakeknya pernah bercerita, kata perkedel adalah serapan dari bahasa Belanda, frikandel. "Kentang dan telur bersatu dalam satu wujud yaitu perkedel, seperti halnya kita, dipersatukan Tuhan dalam sebuah rumah tangga."

Luna seketika tersipu, sedangkan Seto nyengir lebar. Ekspresinya itu jelas menggoda Luna. Beberapa detik kemudian Luna memalingkan mukanya yang memerah.

"Astaga, Na, baru digodain segitu doang muka lo udah kayak tomat masak," cibirnya. Kalau dipikir-pikir, tingkahnya barusan bertolak belakang dengan ucapannya kemarin-tidak pandai menggombal. Ia geli sendiri. Akan tetapi, toh, Luna adalah istrinya. Melihat pipi Luna yang kemerah-merahan membuat perasaannya menghangat, dan ia menyukai gelenyar rasa hangat tersebut.

Luna merengut antara kesal dan baper. Tahukah Seto warna tomat tidak selalu merah, tetapi juga oranye, pink, kuning, peach, putih, bahkan ungu dan hitam?

Semalam, untuk pertama kalinya mereka tidur sambil berpelukan. Guling yang biasanya menjadi pembatas di antara mereka seketika tersingkir.

Namun sayangnya, Luna beberapa kali terbangun dalam keadaan terlonjak dan berkeringat dingin. Ia tidak terbiasa. Untung saja, belatinya tidak tersimpan di bawah bantal. Kalau tidak, mungkin ia sudah melukai Seto dan Seto melaporkannya ke polisi atas tuduhan KDRT, atau yang lebih parahnya, percobaan pembunuhan. Seto tak lagi mengungkit soal kebiasaannya mengigau, mungkin dia enggan membicarakannya, atau sudah terbiasa.

Ia tampaknya harus membiasakan diri tidur dengan aroma tubuh suaminya yang unik, lekuk tubuhnya dan liatnya otot tangannya.

"Mulai hari ini, gue yang nganterin lo ke kantor."

"Motor gue, kan, nggak rusak?" kata Luna heran. "Nanti sore pulangnya gimana?"

"Gue jemput. Daripada lo dianterin si Rafli," Seto mendengkus masam, tidak mau ketiban sial dua kali, kehilangan istri gara-gara pebinor.

Luna segera membantah, "Gue nggak pernah dianterin Rafli."

"Oh, ya? Terus, kenapa dia nekat melamar lo kemarin?"

Luna mengangkat bahu. "Entahlah, habis obat kali."

"Memangnya dia kurang waras?"

"Mana gue tahu? Gue bukan emaknya!"

Seto tertawa geli, sedangkan Luna menyuap sarapannya dengan perasaan tak menentu. Sejak Seto menyinggung Rafli barusan, jantungnya kembali berdebar tak karuan. Tangannya berkeringat. Pikirannya melayang pada berbagai sanksi yang mungkin diterimanya nanti.

Belum lagi suasana canggung dan bisik-bisik para rekan kerjanya. Ia menebak, saat ini ia menjadi topik hangat pembicaraan. Luna tidak berani membuka grup obrolan kantornya. Pesan dari Maya pun ia abaikan.

"Tenang aja, nggak usah dipikirin," sela Seto seolah dapat membaca isi lamunan Luna. "Nanti gue bantuin."

Kedua alis Luna nyaris bertaut. "Dibantuin pakai apa?"

"Pakai doa." Seto mendadak mengangkat kedua tangannya di depan dada dengan khusyuk. "Ya Allah Yang Maha Pemurah, semoga nanti istri hamba nggak dipecat. Tolong kasihanilah kami, ya Allah, tagihan BPJS kelas satu lumayan mahal!"

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang