32. Wounds

5.3K 1.2K 235
                                    

“Some old wounds never truly heal, and bleed again at the slightest word.” — George R.R. Martin, A Game of Thrones.

Mata laki-laki itu menyipit. "Apa? Menikah?"

"I–iya, Pak."

Tatapannya berubah murka. Telapak tangannya melayang ke pipi anaknya.

PLAK!

"Mau jadi apa kamu? Baru tamat SMA sudah minta nikah?!"

Seto menunduk dalam-dalam. Kedua lututnya menekuk di lantai. Ia tahu akhirnya akan seperti itu. Lenyap sudah kepercayaan dirinya. Rasa bersalah bercokol di benaknya. Ketakutan tersirat di wajahnya. Tamparan keras bersarang di pipinya. Rahangnya terasa kebas sekaligus nyeri.

"JAWAB!"

Seto mencicit, nyaris tak terdengar."Ta–tari hamil, Pak."

"Apa maksudmu?" Ayahnya terperangah. "Siapa Tari?"

"Pacar saya."

Wajah ayahnya perlahan pias. Tak lama kemudian, berubah merah padam. Urat-urat lehernya tampak bertonjolan. Suara baritonnya menggelegar. "ANAK KURANG AJAR!"

PLAK!

"Ini hasil didikan di sekolahmu? Berzina? Menghamili anak orang?!"

"Maafkan saya, Pak."

PLAK!

"Mana cita-citamu yang katanya mau jadi engineer itu? Mana? Kamu pikir dengan menikah cita-citamu akan tercapai?"

PLAK!

"Inilah sebabnya Bapak memintamu masuk pesantren, biar pergaulanmu terarah!"

Jangan tanyakan berapa kali pukulan mendarat di tubuh Seto. Mukanya babak belur. Bibirnya berdarah-darah. Ayahnya berubah seperti singa kesetanan. Namun, ia malah enggan meminta ampun.

"Sudah, Pak, sudah! Cukup!" Diah berlari menghampiri anaknya, mengiba dan menjadikan dirinya sebagai tameng agar Seto tak lagi dipukuli. Dipeluknya si sulung itu sambil menangis.

"Bela terus anakmu! Inilah hasilnya terlalu memanjakan anak. Inilah akibatnya terlalu mendengarkan anak. Inilah sebabnya kamu mengajarinya membantah ucapanmu.  Seharusnya mereka hanya patuh dan menurut pada kita. Dasar ibu tak berguna!"

Mendengar ibunya disalahkan, Seto menegakkan kepalanya. "Saya akan tetap mencapai cita-cita saya meskipun telah menikah, Pak."

"Omong kosong!" bantah ayahnya keras. "Bagaimana bisa kamu jadi orang, kalau menjaga nama baik keluarga saja kamu tidak mampu?"

"Saya pasti mampu, Pak."

Ayahnya tertawa sinis. "Memangnya kamu pikir, tanpa Bapak, kamu bisa apa? BISA APA?! Kamu memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan adikmu!"

Ucapan tersebut membuat Seto tertantang. Ia mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Suatu hari nanti akan saya buktikan, saya pasti mampu membuat Bapak bangga."

Laki-laki itu mengusap wajahnya gusar.
Wajah itu tak lagi merah, melainkan sudah berubah kelabu. Amarahnya menggelegak. Tangannya terkepal ingin menghajar anaknya sekali lagi.

"Baiklah," ia menyeringai tidak lama setelah itu, mengabaikan perihnya rasa gagal menjadi orang tua dan kecewa yang bersarang dalam dada, "kalau kamu tetap ingin menikah, silakan keluar dari rumah ini!"

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang